Minggu, 31 Januari 2010

Telaah Sosiologis

MANUSIA; MAKHLUK TUHAN PALING AMPUH


إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً (الأحزاب: 72)


“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat dzalim dan sangat bodoh” (al-Ahzab [33]: 72)


Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Dengan segala potensi yang dimiliki manusia mampu menciptakan berbagai macam teknologi modern. Dengan segala kemampuannya manusia mampu menembus ruang angkasa yang jauh di sana. Berkat karunia tuhan manusia bisa memperoleh berbagai pengetahuan yang sangat berguna untuk kemaslahatannya di dunia. Dengan predikat ahsanu taqwim (sebaik-baik ciptaan) yang ada padanya manusia berbeda dengan semua makhluk lain. Satu aspek penting yang membedakan manusia dengan yang lainnya adalah manusia dikaruniai akal sedangkan tidak demikian dengan makhluk lainnya. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan jika manusia harus memaksimalkan potensi otaknya untuk mengarungi lautan kehidupan di dunia yang fana ini. Dengan demikian kesempurnaan manusia sebagai hamba tuhan terealisasi melalui berbagai macam prestise yang diperoleh.

Sebagai kholifah di muka bumi ini tentu manusia memiliki tanggung jawab yang besar. Manusia lah yang mengatur kehidupannya di dunia ini, mereka yang berusaha melestarikan alam tetapi tidak sedikit juga yang malah melakukan kerusakan. Semua itu akan dipertanggungjawabkan di sisi tuhan kelak pada waktu perhitungan amal. Sedangkan makhluk selain manusia bebas dari tanggung jawab karena mereka hidup di dunia tanpa karunia akal dan apa yang mereka lakukan adalah sesuai dengan kehendak Allah. Andaikata tidak ada hidup setelah mati, tidak ada tanggung jawab dibalik tindakan yang kita lakukan maka pasti kehidupan di dunia ini penuh dengan huru-hara, hampa dari kebenaran dan kebaikan. Namun karena pada hakikatnya manusia itu sadar akan tanggung jawab yang akan diperoleh di akhirat kelak maka dalam setiap perbuatannya manusia memikirkan baik buruknya. Jika dinilai baik maka ia lakukan dan balasan kebaikan pula yang akan diperoleh dan sebaliknya.

Menggapa Manusia Disebut Makhluk yang Paling Ampuh?
Ketika Allah menanyakan kepada langit, bumi dan pegunungan apakah mereka sanggup mengemban amanah. Tak satupun dari mereka yang meng-iyakan bahkan mereka khawatir tidak sanggup memikul amanah itu. Namun akhirnya manusia yang bersedia memikul amanah itu dan nantinya akan dipertangguangjawabkan di yaumil qiyamah (hari pembalasan). Hal ini terjadi sebelum penciptaan manusia, ketika Adam AS ditanya, “Wahai Adam, apakah engkau sanggup memikul amanah itu (hidup dengan penuh ketaatan di jalan Allah) dan sanggup menjaganya dengan penjagaan yang yang sempurna?” tanya Allah. Lalu apa jawab Adam, “Maka tidak ada pilihan lain bagiku kecuali sanggup menerima amanah itu.” Jawab Adam. Kemudian Allah pun berkata, “Jika engkau berbuat baik, manaati perintahku dan memelihara amanat itu maka disisiku adalah kemulian, keutamaan, balasan yang baik (surga) tetapi jika engkau berbuat maksiat, tidak engkau jaga amanat itu, dan kau menodainya maka sesungguhnya aku akan mengadzab dan menghukum kalian (manusia) dengan aku masukkan ke neraka.” Lalu Adam As menjawab, “Aku ridho dengan putusan itu.” (terjehan bebas dari tafsir Ibnu Ibnu Katsir karangan Abul Fida’ ‘Ismail bin Katsir). Dengan demikian manusia lah yang akhirnya mengemban amanah yang berat itu dari Allah swt.

Disini lah letak keampuhan manusia, manakala semua makhluk tuhan tidak sanggup menerima amanat dari tuhan karena kawatir tidak sanggup menjalankannya justru manusia menerima itu dengan segala konsekuensinya. Padahal kita tahu bahwa tabiat manusia tidak selamanya mengarah kepada kebaikan, pikiran mereka tidak selamanya tertuju kepada hal-hal positif. Terkadang ia sadar akan amanat dan tanggung jawab yang ia emban dengan selalu berbuat kebajikan namun di sisi lain ia melalaikan itu dengan berbuat maksiat yang justru menjauhkan dirinya dari rahmat tuhan. Hal ini merupakan sesuatau yang wajar sebab manusia selain memiliki insting ilahiyyah juga mewarisi sifat-sifat bahamiyyah (hewan) dan syaithoniyyah. Sesuai dengan konsep iman yang dikemukakan oleh kaum salafiyyah bahwa al-imanu yazidu wa yanqusu (iman itu akan bertambah dan berkurang), bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Maka akan wajar manakala manusia itu selalu berbuat baik dan ketaatan derajatnya akan lebih tinggi dari malaikat namun ketika berbuat kemaksiatan bisa saja lebih hina dan nista dari hewan bahkan setan.

Dalam akhir surat al-Ahzab ayat 72 di atas Allah SWT berfirman bahwa sesungguhnya manusia itu sangatlah dzalim dan bodoh (dholuman jahulan). Hal ini karena kesedian manusia menerima amanat tuhan yang sesungguhnya begitu berat untuk dilaksanakan sebab kita tahu akibatnya akan fatal andaisaja manusia tidak bisa menjalankannya yaitu neraka. Padahal seluruh makhluk yang ada di dunia menolak penawaran itu, manusia dengan lugunya ridho dengan putusan itu. Hingga sampai saat ini pun manusia masih tetap eksis di dunia dengan beragam tindakan dan perilaku mereka. Dan perlu direnungkan kembali bahwa nantinya perbuatan itu akan dipertanggungjawabkan di akhirat dan tak seorang manusiapun luput dari hisab itu. Semua individu akan merasakan balasan amalnya di dunia, baik yang ia kerjakan kebaikan pula yang diterima, buruk yang ia kerjakan keburukan juga yang akan diterima. Begitulah kira-kira hal ihwal balasan amal manusia di akhirat nanti. Allah maha adil dalam segala sesuatunya dan tidak akan pernah mendzalimi hambanya, prinsip ini yang perlu kita pegang dan dijadikan pedoman. Sehingga predikat dzalim dan bodoh itu sedikit semi sedikit akan tereduksi dan yang tertinggal adalah adil dan pintar dalam segala hal.

Dalam kondisi tertentu Allah memuji manusia karena keluhuran budi pekerti yang dimiliki namun disisi lain mencela manusia karena kelalaian dan kebodohannya. Artinya memang pujian dan celaan itu ibarat dua sisi mata uang yang tiada pernah dapat dipisahkan, dimana kita temukan satu sisi mata uang disitu pula kita dapatkan sisi yang lain. Hal ini sesuai dengan sunnatullah (ketetapan Allah) yang menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan, misalnya dalam konsep jodoh yang disana benar-benar terlihat sisi kebesaran tuhan. Terkadang orang yang secara fisik jelek menikah dengan orang yang tampan atau cantik, tidak bisa kita kritisi karena memang itulah jodoh. Kalau kita paksakan orang tampan mesti menikah dengan wanita cantik, padahal jodohnya adalah wanita yang tidak cantik, sampai kapanpun tidak akan bisa karena sekali lagi itu bukan pasangan (jodohnya), dan ini akan menyalahi kodrat Allah. Mungkin justru dengan wanita yang tidak cantik itu membuat hati sang pria tenang dan justru mampu menciptakan keluarga yang harmonis. Ini lagi-lagi merupakan tanda-tanda kebesaran Allah yang menciptakan sesuatu selalu berpasangan (azwajan) sekaligus sebagai bukti bahwa manusia itu adalah makhluk yang diistimewakan.

Epilog
Manusia sebagai kita fahami dari uraian di atas adalah makhluk tuhan yang paling ampuh, sebaik-baik ciptaan tuhan dengan segala kelebihan dan keutaman yang diberikan Allah. Satu-satunya makhluk yang sanggup menerima amanat tuhan yang maha kuasa. Oleh karena itu marilah kita gunakan potensi yang diberikan Allah ini untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. Jangan sampai nantinya kita menyesal karena telah berbuat kemaksiatan di dunia dan lalai akan amanat itu. Mulai saat ini kita renungkan baik-baik bahwa kita hidup di dunia ini tiada lain kecuali hanyalah untuk beribadah kepada Allah sesuai dengan amanat yang kita emban. Semua yang kita lakukan pasti ada akibatnya dan akan kita pertanggungjawabkan di hadapan tuhan. Dan mari kita jadikan motivasi untuk terus mengabdi dan mengabdi demi sebuah kebahagian di dunia dan di akhirat serta memperoleh ridho Allah yang maha agung. Semoga kita termasuk golongan orang yang selalu sadar akan amanat yang kita bawa dan dapat mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak. Allahumma, hassin a’malana wa balligh ha ila imtiyaziha, amin ya mujiba du’ais sailin ...
Wallahu a’lamu bi-showab ...


Samsul Zakaria,
Mahasiswa Prodi Hukum Islam dan Santri PonPes UII angkatan 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullahu khairan katsiran...