Kamis, 28 Januari 2010

Telaah Science dan Keluhuran Agama

SIDIK JARI (BANANAH): BUKTI KEAGUNGAN TUHAN
(MOTIFATOR UNTUK MEMPERBAIKI PERILAKU)



أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَلَّن نَجْمَعَ عِظَامَهُ . بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَن نُّسَوِّيَ بَنَانَهُ (القيامة: 3-4)

“ Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?. (Bahkan ) Kami mampu menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna”. (Al-Qiyamah [75]: 3-4)


` Semua ciptaan Allah swt. yang ada di dunia ini memiliki hikmah yang terkadang manusia tidak sanggup menyibaknya dengan pasti, baik dari segi ilmu pengetahuan (science) maupun secara nash (dalil naqly). Hal ini bisa jadi karena keterbatasan yang kita miliki sebagai makhluk ciptaan tuhan dan atau memang kajian itu merupakan pembahasan yang jarang disentuh sehingga tidak diketahui juga hikmah dari ciptaaan Allah tersebut. Hikmah disini -menurut perspektif penulis- lebih cenderung pada motif, yaitu sebab yang melatarbelakangi penciptaan itu. Karena terkadang hal-hal yang sepele atau dianggap kecil pun memunyai fungsi yang begitu besar. Sesuatu yang dipandang nista ternyata malah menjerumuskan manusia kepada kehancuran. Disinilah letak keagungan tuhan yang maha kuasa sebagai sang pencipta (creator) yang memunyai hak prerogatif mutlak.

Satu contoh kecil yang mungkin saat ini telah terbukti urgensinya untuk mendeteksi pelaku kejahatan tertentu yaitu sidik jari (bananah/bashmatul ashobi') manusia. Semakin majunya teknologi -seperti terjadi belakangan ini- terkadang para pelaku kejahatan dengan mudahnya menghilangkan jejak tanpa ada rasa bersalah lari dari jeratan (delik) hukum. Namun sekarang tidak demikian adanya, pelaku kejahatan dapat diketahui dari sidik jari yang ia tinggalkan pada korban atau barang bukti yang ia sentuh ketika kejadian. Yang pada akhirnya nanti pelaku tidak bisa lagi mengelak andaikata ternyata sidik jarinya cocok dengan cap jari yang disadur kala itu. Hal ini karena setiap manusia itu memiliki sidik jari yang berbeda bahkan anak kembar sekalipun. Disini tentu menjadi bukti betapa agungnya kekuasaan Allah yang memunyai maksud tertentu pada setiap penciptaannya.

Pengertian Sidik Jari
Sidik jari yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan finger print (John M. Echols dan Hasan Syadily, 1998) adalah bentuk atau gambar ujung jari-jemari manusia yang akan tampak apabila ditekankan pada bidang tertentu setelah dibubuhi dengan tinta atau sejenisnya. Hal ini sejalan jika kita merujuk pada pengertian sidik jari menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) yang memiliki dua fungsi yaitu sebagai kata kerja dan kata benda (noun). Sidik jari berarti rekaman jari; cap jempol yang bertujuan untuk menyelidiki bekas jari demi mengetahui dan membeda-bedakan orang (dengan meneliti bekas rekaman ujung-ujung jari tersebut). Dalam konteks ini secara langsung dapat diketahui urgensi sidik jari itu sendiri, yaitu mampu membedakan antara antara individu satu dengan yang lainnya.

Sesuai dengan surat al-Qiyamah ayat 7-8 di atas bahwasanya manusia (orang kafir) menyangka kalau tuhannya tidak mampu untuk membangkitkan sekaligus menghidupkan (menyusun) kembali tulang belulang mereka di hari kiyamat nanti. Padahal Allah swt. mampu mengumpulkan tulang belulang manusia sebagaimana bentuk semula baik yang kecil atau yang besar kelak di hari kebangkitan manusia untuk persaksian (Asy-Syuyuty dan Al-Mahally dalam Tafsir Jalalain). Artinya, Allah swt. dengan kekuasannya bisa merekonstruksi kembali anatomi tubuh manusia yang telah hancur bahkan lebur dan terpisah-pisah sekalipun menjadi bentuk semula yang utuh dan tiada beda. Hal ini yang kemudian sedikit mengilhami manusia untuk mempelajari anatomi yang salah satunya kajian mengenai sidik jari yang dikenal dengan istilah daktilokopi (the study of finger prints). Dengan adanya perkembangan teknologi akhirnya sidik jari manusia dapat disadur dari benda yang telah dipegangnya menggunakan alat tertentu. Alat ini saat ini sering digunakan oleh kepolisian untuk mendeteksi sidik jari pelaku kejahatan demi keakuratan penyelidikan. Subhanallah wa bi hamdihi...

Korelasi Sidik Jari dengan Perilaku Manusia (Behavior)
Manusia lahir ke dunia ini sejatinya telah memiliki janji setia dengan Sang Maha Esa bahwa Ia (Allah swt.) adalah tuhannya yang wajib disembah dan ditaati. Hal ini dilakukan agar pada akhirnya nanti andaikata manusia ingkar akan ajaran ilahi di dunia yang berimplikasi pada balasan neraka di akhirat tidak ada kata protes atau gugatan. Karena manusia sebelum diciptakan ditanya terlebih dahulu dengan kalimat, “Bukankah aku ini tuhanmu?” Kata Allah. Mereka menjawab, “Bala (Benar, engkau adalah tuhanku)”. Inilah kutipan dari percakapan Allah dengan manusia sebelum penciptaannya agar kelak manusia tidak lengah dengan persaksian itu (Al-A’raf [7]: 171). Jadi tidak ada alasan bagi manusia di dunia yang fana ini untuk tidak mengabdi kepada Allah sebagai sang kholik yang telah menciptakannya sebagai anugerah yang paling berharga. Walaupun kita tidak menyadari percakapan kita dengan Allah kala itu tapi itu sudah menjadi takdir yang tidak bisa dihindarkan lagi yang memang mesti kita terima. Andaisaja ketika itu kita menyatakan ketidaksanggupan atau tidak mengakui Allah sebagai tuhan kita maka pasti Allah pun tidak mengirim kita ke dunia yang penuh dengan tipu daya ini.

Sidik jari merupakan bagian dari tubuh manusia yang paling unik karena terletak di ujung jari manusia yang membentuk garis memanjang. Terkadang kita tidak menyadari maksud dari adanya garis-garis itu apakah hanya sekadar pelangkap saja untuk memperindah jari-jemari manusia. Tapi, lebih jauh dari itu ternyata sidik jari sesuai yang telah dijelaskan di atas memunyai seribu makna yang sungguh luar biasa. Selain itu sidik jari manusia menunjukan akan kebesaran Allah yang telah menciptakan manusia dalam bentuk yang seindah-indahnya (ahsanu taqwim). Ini adalah suatu karunia yang begitu dahsyat yang wajib ‘ain untuk disyukuri agar kita termasuk golongan hamba yang pandai bersyukur. Dengan bersyukur secara tidak langsung tersirat doa supaya Allah terus mencucurkan nikmatnya kepada kita karena hakikat dari doa itu adalah rasa syukur manusia akan nikmat tuhannya (haqiqotud du’a asy-syukru [Mujiono, 2010]). Dengan terus mensyukuri nikmat tuhan berarti kita telah berusaha untuk qonaah dan ridha atas semua yang kita miliki dan alami dengan tidak menafikan usaha keras dan tawakkal.

Manusia harus berhati-hati dalam berbuat dan bertindak karena semua yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban. Kehati-hatian itu bisa dimanifestasikan pada amaliyyah yaumiyyah yang secara kontinyu dilaksanakan. Tidak menganggap hal-hal yang kecil itu sepele atau nista tiada arti. Karena bisa jadi sedikit kecerohan kita kan membawa kepada lembah kenistaan atau bahkan perkara kecil itu yang membawa banyak manfaat dan berkah dalam hidup kita. Contohnya saja sidik jari manusia yang sekilas tidak menarik dan tiada guna namun ternyata menyimpan rahasia yang begitu urgen untuk kepentingan (mashlahah) manusia. Hal ini sejalan dengan statemen yang menyatakan bahwa manusia tidah jatuh karena batu besar yang mengalangi langkahnya namun bisa jadi jatuh tersengkur disebabkan oleh batu kecil yang ada di depannya yang sekilas tak nampak. Hal ini menunjukan bahwa betapa beruntungnya orang yang selalu berhati-hati dalam melangkah dan mengambil keputusan. Perkataan yang telah keluar dari lisan -yang konon lebih tajam dari mata pedang- tidak akan dapat ditarik kembali dan pasti ada konsekuensi dan pertanggungjawabannya.

Epilog
Hidup di dunia ini hanyalah sementara karena pada saatnya nanti kita akan menemui hari pembalasan. Hari yang dinanti-nantikan oleh orang-orang yang selalu berbuat kebajikan namun menjadi momok yang begitu ditakuti oleh mereka yang selalu berbuat kemungkaran. Tiada yang dapat menolong manusia kecuali amal kebajikan yang ia lakukan di dunia. Harta dan jabatan yang kita miliki tidak akan berarti apa di yaumil mahsyar nanti bahkan istri dan buah hati yang begitu kita cintai tiada lagi mengikuti kita. Hal itu karena manusia akan bertanggung jawab terhadap amalnya masing-masing dan seseorang tidak bisa mewarisi atau menanggung dosa orang lain (Al-An’am [6]: 164). Begitulah kira-kira hal ihwal manusia di akhirat nanti sebelum akhirnya mendapat putusan dimana ia akan kembali (jannatun na’im atau neraka) dan kekal di dalamnya.

Sebagai makhluk tuhan yang dianugerahi potensi akal dan pikiran yang sempuna, marilah kita terus berlomba-lomba dalam kebajikan. Dengan karakteristik penciptaan manusia yang variatif dan berbeda-beda ini yang seharusnya menstimulus manusia untuk fight dalam berkarya dan beramal tentunya. Dan juga terus berusaha memikirkan ciptaan Allah swt sebagai bukti keagungan dan tanda kebasarannya. Sesuai dengan hadits rosul, “tafakkaru fi kholqillah wa la tafakkaru fi dzatillah (Renungilah ciptaan Allah dan jangan berfikir akan dzat Allah)”. Dengan terus bertafakkur berarti kita telah menyukuri niknat dan karunia Allah swt dan akan berdampak pada rasa tenang dan nyaman dalam hidup kita. Selalu berhati-hati dalam berbuat (ihtiyath) akan lebih menyelamatkan kita dari lembah kenistaan baik di dunia atau di akhirat. Akhirnya, semoga kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari ciptaan Allah swt serta menyukurinya. Dan kita berharap dengan penuh ketawadhuan agar kita menjadi golongan orang yang selamat (firqoh najiyah) dan mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Amin ya robbal ‘alamin...
Wallahu a’lamu bis-showab...



Samsul Zakaria,
Mahasiswa Prodi Hukum Islam dan
Santri PonPes UII
Angkatan 2009


Nomor Rekening: 3079-01-006430-53-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullahu khairan katsiran...