Minggu, 31 Oktober 2010

Belajar dari Mbah Maridjan

Belajar dari Mbah Maridjan


Mendengar kabar bahwa almarhum Mbah Maridjan ditemukan wafat dalam posisi sujud memberikan kesan religius (agamis) yang dahsyat dalam hatiku. Betapa mulianya orang yang menemui akhir hidupnya dalam kondisi yang semua orang beragama menganggapnya sebagai sebuah purna yang sempurna (al-husnul al-khatimah). Sebuah penghambaan yang total terhadap Tuhan yang telah memberinya kesempatan hidup. Sebagai bentuk penyerahan diri kehadirat-Nya dibarengi kesedian untuk selalu menjalankan perintah-Nya (‘ibadah). Menjadi pertanyaan dalam diriku, “Mungkinkah kita menemui ajal layaknya Mbah Maridjan, dihampiri Malaikat Izrail dalam posisi bersujud?”. Ya Allah panggilah kami nanti dalam keadaan yang baik.

Mbah Maridjan yang selama ini dikenal sebagai abdi dalem yang juga juru kunci Merapi memiliki kepribadian yang patut dijadikan teladan. Betapa tidak, begitu taatnya Mbah Maridjan terhadap Sultan Hamengkubuwono IX hingga ia menolak untuk mengungsi walaupun diperintahkan oleh HB X. Padahal kondisi Merapi sudah sangat berbahaya. Semburan awan panas alias Wedus Gembel sudah mulai menyusuri daerah sekitar yang berjarak maksimal 10 kilometer. Semua warga yang lain sudah beranjak dari desanya menuju tempat yang aman. Mencari keselamatan untuk bisa mempertahankan kehidupan. Namun Mbah Maridjan masih dengan tenangnya berdiam (stand by) diri di kediamannya.

Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Mbah Maridjan adalah orang yang loyal, berdedikasi tinggi terhadap suatu titah yang agung. Walaupun kematian mengancam tidak menjadi masalah yang berarti. Kepatuhan terhadap perintah dan kesadaran untuk mengabdi demi kepentingan orang banyak menjadi komitmennya. “Al-mautu râhatun li al-mu’minîn,” demikian kata orang bijak. Kematian adalah tempat peristirahatan bagi orang-orang mukmin. Setelah purna menyelesaikan tugasnya Mbah Maridjan menenui ajalnya. Mungkin ini adalah kenyataan yang pahit, terselubung kesedihan. Sepeninggal beliau tentu menyisakan pekerjaan yang tidak mudah. Akan sulit mencari sosok yang tepat menggantikan posisi beliau. Namun setidaknya kita wajib memberikan apresiasi kepadanya atas segala pengorbanan dan jasanya.

Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi bangsa, khususnya bagi para politisi. Kehidupan dunia yang melenakan bukanlah tujuan utama. Bekal amal kebaikan adalah prioritas demi menuju singgasana Tuhan. Menuju keabadian yang dihadapkan pada dua kenyataan. Baik amal yang dilakukan maka balasan kebaikan pula yang akan didapatkan dan sebalinya. Kesederhaan yang ditampilkan oleh Mbah Maridjan menunjukan bahwa kesuksesan itu bukanlah bangga terhadap pencapain hidup namun bagaimana manusia sadar akan siapa dirinya sesungguhnya. Pantaskah bermewah-mewahan di tengah-tengah kehidupan bangsa yang berjuta rakyat miskin bertebaran. Layakkah berkunjung –jika tidak patut dikatakan plesiran- di saat bangsa ini dirundung duka nestapa. Selamat jalan Mbah Maridjan. Semoga rahmat-Nya senantiasa mengiringi kepergianmu menuju alam baka. Amin,


Sams Airakaza,
29 Oktober 2010,