Minggu, 21 Februari 2010

Telaah Sosiologis Agama

FLEKSIBILITAS ISLAM DALAM MERESPON MASALAH KONTEMPORER



Islam adalah agama samawi (ilahi) yang diturunkan oleh Allah kepada umat Muhammad sebagai pelengkap dari agama samawi yang telah ada sebelumnya. Artinya Islam bukanlah agama yang muncul berdiri sendiri (mustaqil) di atas sendi ajaran yang tidak berkorelasi dengan agama sebelumnya yang diemban oleh rasul terdahulu, tetapi Islam berfungsi sebagai penyempurna ajaran agama sebelumnya. Sehingga tidak heran jika banyak syariat Islam yang diturunkan (diambil) dari syariat umat terdahulu (syar’u man qoblana). Hal ini karena Islam tiada lain adalah sebagai batu bata terakhir yang dipasang untuk melengkapi bangunan yang telah tersusun sebelumnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan bahwa pada saat itu (sebelum rasul wafat) islam telah sempurna dan tiada lagi agama sesudahnya.

Di sisi lain Islam itu agama yang mengandung syariat (tata hukum) yang fleksibel atau transparan dan luwes. Aturan hukumnya mampu disesuikan dengan kondisi kapan dan dimana hukum itu akan diterapkan. Sehingga tak heran jika muncul sebuah adagium, ‘Islam sholihun li kulli zaman wa makan (Islam itu sesuai dengan waktu dan tempat)’. Artinya keluwesan dari hukum Islam itu yang menjadikan Islam arif dan mudah didakwahkan kepada umat manusia. Ajaran yang terkandung di dalamnya tidak saklek yang akan menimbulkan kesan kaku dan tidak dapat beradaptasi. Tetapi justru Islam mampu menjawab tantangan dan permasalahan umat masa kini atau yang lebih kita kenal dengan masalah kontemporer.

Sumber ajaran Islam itu sendiri luas, dengan sumber utama Alquran dan al-Hadits. Alquran sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril berfungsi sebagai ktab undang-undang yang mengatur segala aspek kehidupan. Selain Alquran juga ada hadits yang selain berfungsi sebagai tafsiran dari kandungan (madlul) Alquran juga sebagai pelengkap dan sumber hukum yang tidak dijelaskan dalam Alquran. Dari dua sumber utama ini tentu tidak serta merta dapat diterapkan dalam amal perbuatan manusia. Ada metodologi (tata cara) penerapan ajaran Islam itu sendiri sehingga kita kenal Ushul Fiqh dalam kazanah keilmuan hukum Islam. Ilmu ini kemudian berfungsi sebagai dasar menentukan hukum praktis (amaliyah) yang disebut dengan Fiqh. Sedangkan Figh sendiri merupakan ilmu mengenai hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Materi Fiqh sendiri sangat luas dan banyak ragamnaya. Dari materi-materi yang universal tadi ditemukan materi yang sejenis yang kamudian dikumpulkan dalam kaidah Fiqh (qawaid fiqhiyah). Demikian lah kira-kira sekilas sistematika hukum Islam itu sendiri.

Sebagaimana kita maklumi bahwa hukum adalah sesuatu yang fleksibel, mudah berubah sesuai dengan kondisi dan terkadang tergantung pada kebijakan para pengambil keputusan (pemerintah). Hal ini karena tujuan dari syariat itu sendiri adalah demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Sehingga manakala hukum yang telah ditetapkan tidak lagi menimbulkan maslahat atau bahkan berdampak pada kerusakan (mudharat) maka bisa saja disepakati hukum baru demi terciptanya kemaslahatan tadi. Dalam islam hal ini boleh-boleh saja asalkan masih dalam koridor muamalah bukan pada inti ajaran Islam yaitu aqidah atau apa yang sudah jelas dan tetap dalam agama (al-ma’lum minad din bidh dharurah). Sehingga terdapat kaidah ushul fiqh yang menjelaskan kefleksibelitasan islam dalam masalah hukum yang berbunyi, ‘al-hukmu yataghayyaru bitaghayyuril amkinah wal azminah’, hukum itu berubah sejalan dengan perubahan situasi dan kindisi. Artinya Islam menghendaki kemaslahatan yang sebesar-besarnya terhadap umatnya dengan keluwesan hukum yang ada.

Dalam kajian hukum Islam kita mengenal qaul qodim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru) Imam Syafi’i. Qaul qodim adalah fatwa Syafi’i tatkala ia masih berada di baghdad sedangkan qoul jadid adalah fatwa baru dari Syafi’i setelah pergi dari Baghdad, di Mesir tepatnya. Ini adalah satu indikasi akan flesibelitas hukum islam, dimana Syafi’i, seorang imam madzhad memiliki dua pendapat yang berbeda terkait masalah fiqh. Apabila distingsi itu kita temukan dari dua ulama’ maka hal itu bisa kita katakan wajar namun manakala ikhtilaf itu terdapat pada satu imam, ini yang menjadi bahan renungan. Sehinggan dapat kita fahami bahwa hukum itu tidak tetap, tetapi bisa berubah dan disesuikan dengan keadaan sebagaimana yang dilakukan oleh Syafi’i. Mungkin saja andaikata Syafi’i tinggal di Indonesia akan merumuskan qaul jadid ala Indonesia. Sekarang saja Indonesia telah memiliki Kompilasi Hukam Islam (KHI) ala Indonesia yang banyak mengadopsi pendapat Syafi’i.

Mengenai fleksibelitas Islam itu sendiri nampaknya mengandung banyak hikmah bagi umat islam. Apabila Islam itu kaku maka akan banyak ditemui kesulitan untuk menerapkan hukum terhadap semua umat. Padahal umat ini berbeda beda, baik latar belakang, kondisi tempat dan waktu dan juga pemikirannya. Dalam islam sendiri kita telah mengenal, ‘ma ja’alallahu fid dini min haraj (sekali-kali Allah tidak menbuat kesusahan bagimu dalam agama)’. Kalau saja Allah sebagai syari’ (pembuat hukum) menghendaki adanya kemudahan dalam agama mengapa kita mesti menyusahkan diri dalam agama. Seorang yang mampu solat dengan berdiri, wajib baginya shalat dengan berdiri namun manakala ia mendapati kesusahan maka boleh saja shalat dengan duduk bahkan berbaring sekalipun. Seorang yang mampu berpuasa misalnya, wajib baginya untuk berpuasa namun manakala haraj (kondisi yang menyulitkan) mendapatinya maka tidaklah wajib baginya berpuasa pada waktu itu dengan catatan ia masih wajib mengganti puasanya pada hari yang lainnya atau dengan membayar fidhyah.

Hukum Islam sendiri merupakan tata aturan yang rentan dengan masalah kontemporer yang terkadang sama sekali belum ada aturan hukumnya. Hal ini karena pada waktu rasul masih hidup masalah itu tidak ditemukan sehingga untuk menentukan hukumnya diperlukan adanya ijtihad yang berlandaskan Alquran dan Hadits. Mengenai masalah ini, pemerintah Indonesia khusunya telah menbentuk badan yang berfungsi untuk menanggapi permasalahan yang bergulir di tengah kehidupan umat yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada pondok pesantern misalnya banyak kita jumpai pertemuan yang mengkaji masalah kekinian yang ada yang kita kenal dengan istilah bahtsul masail. Hal ini merupakan manifestasi daripada keluesan Islam dalam menjawab tantangan dunia modern. Sebab islam bukanlah agama yang jumud (statis) melainkan agama yang dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman dan permasalahan umat. Sehingga umat islam mampu bersaing dan hidup dengan segala kemaslahatan pada era modern ini.

Islam juga menghendaki adanya hubungan yang harmonis dengan pemerintah. Sebab pemerintah sebagai pemegang kekuasaan adalah partner agama dalam masalah syariat Islam. Misalnya saja, belakangan ini banyak beredar isu kontemporer di tengah masyarakat, kita ambil contoh yang mungkin masih hangat dibicarakan yaitu rencana rumusan Rancangan Undang-undang (RUU) yang mengatur tentang nikah siri dimana pelakunya akan dikenai pidana berupa kurungan penjara dan denda meterial. Hal ini tentu menyangkut dua dimensi, di satu sisi nikah itu adalah urusan agama terkait dengan tata cara dan hukumnya namun di sisi lain aturan pidana tentang nikah siri dengan alasan akan menimbulkan banyak mudharat adalah ranah hukum negara. Disini lah, peran islam dalam menjawab permalahan yang selalu hadir di tengah-tengah umat. Sehingga, dengan adanya keharmonisan antara agama dan pemerintah dibutuhkan kerjasama dan keterkaitan yang saling mengisi dan melengkapi antara agama dan pemerintah. Dalam masalah nikah siri tadi sebenarnya dalam syariat Islam sah adanya dan tidak memilki sanksi apapun bagi pelakunaya. Namun karena Islam meghendaki kemaslahatan maka demi terciptanya sebuah kebaikan, pidana terhadap pelaku nikah siri juga dibenarkan dan sekali lagi tidak menyalahi syariat. Dalam ushul fiqh terdapat sebuah kaidah yang berbunyi, ‘dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbul mashalih (mancegah adanya kemungkinan timbulnya mudharat itu dikedepankan dalam rangka memperoleh kemaslahatan)’.

Demikianlah kiranya penjelasan mengenai fleksibelitas Islam dalam menanggapi masalah kontemporer umat. Dimana Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) merupakan agama yang berfungsi untuk memelihara manusia dari mudharat dan menginginkan adanya kebaikan dan kemaslahatan. Sesuai dengan konsep ini maka manakala hukum islam itu tidak lagi menimbulkan kemaslahatan maka memungkinkan perumusan hukum baru yang disesuikan dengan kondisi mukallaf (orang yang terkena pembebanan hukum) dan keadaan kala itu sehingga kemaslahatan itu akan tetap terpelihara. Hal ini karena sejatinya Allah swt menginginkan adannya kemudahan dalam beragama sebagaimana firmannya yang berbunyi, “innallaha yuridu bikumul yusro (sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan bagi kalian)”. Sehingga islam mudah diterapkan dalam kondisi apapun dan dimanapun juga karena islam memiliki konsep maslahat yang tidak dimiliki oleh agama lainnya. Wallahu a’lamu bish shawab...

Semoga bermanfaat!!!


Samsul Zakaria
Mahasiswa Prodi Syariah FIAI dan Santri PonPes UII angkatan 2009

Selasa, 09 Februari 2010

Laisa Kaitslihi Syaiun (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ)

Bagaimana Anda Memahami Petikan Ayat di Atas???



لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِير' merupakan petikan ayat yang terdapat dalam surat asy-Syura' ayat ke 11. Ayat ini banyak dijadikan dalil penguat dari sifat Allah yang termasuk sifat wajib baginya yaitu mukhalafutuhu lil hawadits, berbeda dengan makhluknya. Artinya Allah itu qiyamun linafsihi, berdiri sendiri, tanpa intervensi dari siapapun, Allah itu ya Allah, tiada yang menyamainya, tiada yang setara dengan Dia. Sehingga wajar jika dalam petikan ayat tersebut Allah berfirman bahwa tidak ada sesuatupun (makhluknya) yang menyerupainya. Bahkan Allah subhanahu wa ta'ala lah yang Maha mendengar dan mengetahui segala sesuatu itu. Makhluk (ciptaan) adalah kreasi murni dari Kholik (pencipta) dan bukan merupakan bagian dari dzat kholik.

Terjemahan petikan ayat di atas sebagaimana kita temukan pada Alquran terjemah yaitu 'tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia'. Artinya segala sesuatu itu tidak ada yang sama dengan dzat Allah. Karena manakala ada indikasi bahwa sesuatu itu sama dengan Allah maka hal itu akan memasuki ranah tasybih (penyerupaan Allah dengan sesuatu yang lain). Dan menurut Asya'irah (Madzhab Asy'ari) menyerupakan tuhan dengan makhluk dapat menyebabkan seseorang menjadi 'kafir'. Oleh karenanya tatkala ada ayat yang dhahirnya mengandung makna peyerupaan tuhan dengan makhluk, ayat tersebut dipalingkan, dita'wilkan dengan pengertian yang tepat dalam rangka tanzih (membedakan Allah dengan makhluknya/menyucikan dzat Allah). Misalnya 'yadullahi fauqo aidihim', tangan Allah berada di atas tangan mereka. Sekilas ayat ini mengabarkan bahwa Allah itu memiliki tangan layaknya manusia. Namun sebenarnya kata yadun dalam ayat ini bisa dita'wilkan menjadi kekuasaan, jadi maksud ayat di atas adalah kekuasaan Allah berada di atas kekuasaan mereka (makhluk).

Apabila kita mengartikan petikan ayat Syura' ayat 11 di atas dengan tarjamah harfiyah (terjemahan perkata) akan kita dapatkan pengertian yang jauh berbeda dengan tarjamah tafsiriah. Secara harfiyah makna cuplikan ayat di atas adalah 'tidak ada yang menyamai kepada yang menyamai Allah' (Saiful Hadi, 2009). Artinya dapat kita ambil kesimpulan bahwa ada yang menyamai Allah, padahal hal ini mustahil bagi Allah. Sedikit kita bahas penerjemahan harfiyah tersebut. Kamitslihi artinya seperti sesuatu yang semisalnya, artinya dhomir hi di sana kembali kepada Allah dan ka mitsli itu sesuatu yang menyerupai Allah. Jadi sebenarnya sudah ada sesuatu yang menyamai Allah. Kemudain ada kata 'laisa' sebagai fiil naqish dan 'syaiun' sebagai isimnya yang kemudian bermakna tidak ada yang sama dengan apa yang semisal Allah. Jelas arti harfiyah seperti itu dan berdasarkan indikasi (qorinah) dari beberapa dalil yang lain hal itu mustahil dan tidak bisa diterima secara akal. Oleh karena itu petikan ayat ini tidak dipahami (diterjemahkan) serta merta menurut tarjamah harfiyyah melainkan melalui tarjamah ma'nawiyyah yang dirasa lebih tepat dan sinkron.

Dalam kitab tafsir al-Qurtuby dijelaskan beberapa pendapat terkait dengan maksud petikan ayat itu. Konon huruf 'kaf' dalam ayat itu adalah sebagai tambahan saja (zaidah) yang berfungsi sebagai taukid (penekanan). Dengan demikian dapat kita artikan 'tidak ada sesuatu yang semisalnya' menafikan arti dari huruf kaf. Ada juga yang mengatakan bahwa huruf kaf berfungsi sebagai taukid dari tashbih dari kata 'mitslihi'. Dan menurut Tsa'lab, ayat itu seolah-olah berbunyi seperti ini 'laisa ka huwa syaiun', dengan menghilangkan lafadz mitslihi, sehinga dapat ditarik kesimpulan arti yaitu 'tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia (Allah)'. Jadi kita dapat memahami ayat ini berdasarkan pentakdiran atau penafsiran tidak memahaminya berdasarkan dhahirnya saja. Dengan demikian hal ini dapat dijadikan hujjah bagi mereka yang meragukan kebenaran ayat ini. Karena memang di situlah letak kemu'jizatan Alquran, baik dari segi bahasa, susunan kata dan kandungannya.

Dalam kajian ini, Aku hanya ingin mengatakan bahwa mempelajari sesuatu itu harus dari dasarnya. Dengan demikian kita akan mendapatkan pemahaman yang syumul (menyeluruh) dan terinci. Tidak serta merta menerima doktrin dari pengertian sesuatu yang akhirnya menghalangi kita untuk menerima pendapat orang lain yang mungkin benar atau setidaknya mengandung kebenaran. Di sisi lain ini adalah sebuah keajaiban dari Bahasa Arab sebagai bahasa Alquran dan bahassa penduduk surga. Sebuah bahasa yang paling unik dan menurutku adalah bahasa yang paling sulit tapi menarik dipelajari. Karena banyak sekali kajian yang tercakup di dalamnya, kedalaman makna dan kandungan yang terkadang tidak bisa dipahami secara langsung. Subhanallah, wahai kawan sebagai generasi penerus bangsa marilah kita mengkaji dan mendalami ilmu dengan sebaik-baiknya, mencoba untuk menggali pengetahuan dari dasarnya dan sedetail mungkin. Andaikata tiada dapat kita lakukan pengetahuan yang mujmal juga tiada salahnya. Intinya, tiada kata untuk tidak belajar dan terus' mengaji' sekaligus 'mengkaji',,,

Selamat Menikmati!
Salam Karya!

Jumat, 05 Februari 2010

Mari Berfikir!!!

Antara Akal, Tampan dan Cantik
(جَمَالُ الرَّجُلِ فِى عَقْلِهِ وَ عَقْلُ الْمَرْأَةِ فِى جَمَالِهَا)


Malam Jumat, 4 Februari 2010, selepas yasinan dan doa bersama kami (santri PonPes UII) mengadakan sharing. Acara ini adalah acara mingguan yang rutin kami laksanakan. Dan tak lupa di akhir acara sekaligus penutup ada taushiah atau wejangan dari sang Pengasuh pondok, Ustadz Muhammad Roy, MA. Dalam taushiah kali ini di awal pembicaraannya beliau mengemukakan sebuah adagium berbahasa arab yang artinya ‘ketampanan lelaki itu ada pada akalnya sedangkan akal wanita ada pada kecantikannya’. Menarik bukan tidak semua santri bisa langsung memahami statemen begitu juga pembaca agaknya. Perlu mikir-mikir dikit lah sampai catch it fully. Bukankah seperti itu teman!!!

Aku sangat terhanyut dengan ungkapan itu dan akhirnya akupun terinspirasi untuk menulisnya menjadi sebuah catatan kecil yang nantinya akan didikusikan dengan rekan-rekan yang saya tag dalam catatan ini dan khususnya yang tertarik dengan apa yang saya tulis ini. Dan aku yakin teman-teman akan tertarik dan tentunya implikasi dari itu adalah munculnya kritika, saran, dukungan sabagai komentar konstruktif dari catatan ini. Semoga saja!

Sebelum Aku menulis idea ku menjadi sebuah artikel seperti itu, Aku posting dulu main idea atau adagium di atas di wall FB ku dan ternyata tak sedikit yang mau berkomentar. Dan Akupun dengan senang hati menanggapi komentar teman-teman. Pertama, Aku mengucapkan permohonan ma’af yang sebesar-besarnya khusunya kepada Akhwat yang mungkin merasa terpojokkan bahkan tersinggung dengan tulisan ini. Tak ada niat apa-apa kecuali Aku ingin mengundang teman-teman untuk berdikusi dalam forum ini. Aku pribadi sebagai seorang lelaki sangat menghargai kaum hawa, tak ingin Aku menyakitinya dan andai boleh Aku katakan, Aku ingin melindungi mereka wa bil khusus someone ... he he.. Jadi harap maklum, hitung-hitung menstimulus teman-teman untuk berfikir dan menambah wawasan dan pengetahuan saja. Oke,,,

Berikut sedikit cuplikan dari diskusiku dengan adik kelas dan sahabatku. Sebut saja Eka, ia adalah salah satu adik kelasku di MAN 1 Model Bandar Lampung yang ketika itu tak jarang beliau berdiskusi denganku mengenai masalah nahwu ya mas law ndak salah. Beliau berkomentar atas postinganku di FB itu seperti ini, “Ane la uwafiq aidhon (saya tidak setuju juga) karena kecantikan wanita itu tsabit (tetap) khi... Kalo qita mengukur akal wanita hendaknya dari sikap...” begitu ungkapnya.

Menanggapi komentar itu Aku pun berdalih seperti ini, “Eka: Ini adalah sebuah adagium yang muncul dari pengalaman dan penelitian kelompok tertentu. Bisa benar bisa juga mengandung kesalahan. Tapi sejauh pengamatanku, itu benar adanya dan mayoritasnya seperti itu. Maaf, seorang lelaki yang tidak tampan tapi dia punya skill dan aura yang mampu menggoda wanita, maka ketahuilah akan tampak kejantanannya dan dengan sendirinya menurut (persepsi) wanita ia adalah seorang yang tampan. Sedangkan wanita tanpa kecantikan sebagian orang tak menghargainya dengan apa-apa. Coba kalau dia cantik menawan orang akan memandangnya sebagai wanita yang cerdas, sekilas tapi. Nahnu nahkumu bidh dhowahir, bukan seperti itu kawan! “ jawabku.

Tak lama dati itu nongol komentar dari sahabatku yang sering daku kagumi pemikiran kritisnya, sebut saja Mas Bukhory. Beliau berkomentar seperti ini, “Eka, kecantikan wanita gak tsabit lho.. kecantikan wanita bisa pudar karena umur.. he dan untuk akh Samsul, ane (saya) juga tidak sepakat dengan adagium ini karena tidak ada sangkut pautnya kecantikan dengan akal khi.. walawpun menurut sebagian orang mungkin hal tersebut benar adanya..seperti tulisan antum yang mengatkan kita bisa melihat wanita cantik itu cerdas namun ini hanya pandangan yang sekilas, dan jka kita mengamati lebih jauh lagi mungkin pandangan kita ini meleset. Ini artinya kecantikan tidak bisa menjadi tolak ukur akal ataupun kecerdasan.” paparnya.

Wah agaknya banyak yang komplin dengan adagium itu. Dan akupun lagi-lagi berdalih seperti ini untuk mengklarifikasi, “Mas, dalam konsep ini Aku tertarik untuk menggunakan kaidah ini نَحْنُ نَحْكُمُ بِالظَّوَاهِرِ yang artinya kita menghukumi (menilai) sesuatu sesuai dengan yang tampak. Sekarang sebagai lelaki normal apa yang ada dalam benak kita saat melihat wanita cantik? tentu yang baik-baik kan yang ada, pintar dan penyayang. Walaupun sebenarnya dia tidak cerdas akalnya, dia sudah punya kecerdasan pada wajahnya. Ingat bahwa wanita adalah potret (tajally) diri tuhan yang paling sempuna (Muhammad Roy, 2009).

Ya, begitulah sedikit perbincangan kami mengenai masalah ini. Dan Aku yakin besok akan muncul lebih banyak komentar lagi, entah yang mendukung, komplain, atau sekadar mengeluarkan pendapat. I hope like that,,,


Met Membaca dan Menelaah!!!

Kamis, 04 Februari 2010

Kajian Spiritual

Keadilan Tuhan Digugat???


Hari ini, 3 Februari 2010, ada seorang teman (in Facebook) mas Imtihan namanya mengomentari note ku yang sudah lama Aku postkan yang berjudul al-Itsar fil Islam(Altruisme dalam Islam). Banyak hal hal kami diskusikan dari catatan itu sampai akhirnya berujung pada sebuah pertanyaan yang cukup menguras pikiran untuk menjawabnya. Dia menanyakan atau dengan bahasa yang lebih ekstrim menggugat keadilan tuhan. "Allah menciptakan manusia ada yang sempurna dan ada yang cacat, lalu dimanakah letak keadilan tuhan dengan lahirnya seorang bayi yang cacat itu. Bukankah semua manusia yang lahir ke dunia ini punya hak yang sama, tidakkah tuhan itu maha adil, dalam masalah ini maka dimanakah letak keadilan tuhan?" begitulah kira-kira alur pikirannya yang terjewantahkan dalam pertanyaan sederhana.

Menanggapi masalah ini Aku pun jadi ingat mengenai kebesaran tuhan melalui keadilannya yang pernah dijelaskan oleh guru Bahasa Arabku saat Aku masih kelas satu Aliyah. Penjelasan itu sedikit banyak Aku gunakan untuk merespon pertanyaan Mass Imtihan Abdillah. "Mas Imtihan: Ya ya, memang perlu kita pikirkan. Tapi itulah namanya keadilan tuhan. Bukankah Allah menciptakan sesuatu itu berpasang-pasangan, ada yang sempurna dan ada yang tidak sempurna (cacat) dan lain sebagainya. Dan semua adalah ujian mas, yang sempurna diuji bagaimana ia menyukuri dan menggunakan kesempurnaanya itu untuk kebaikan, yang cacat diuji dengan kesabaran dan kekuatan mental menjalani kehidupan. Dan Aku tetap berpegang teguh ma pendirian itu dengan analisa yang cukup gamblang. Satu contoh, kita punya lima ayam, satu ayam kita sembelih untuk syukuran, satu lagi kita potong untuk makan bersama, satu lagi kita jual untuk membayar hutang, satu lagi kita kurung untuk pajangan karena modelnya yang indah, dan satu lagi kita biarkan keluyuran mencari makan. Dari statemen tadi apakah kita sebagai pemilik ayam dikatakan dholim/tidak adil karena memperlakukan ayam dengan cara yang berbeda. Bukankah kita punya alasan terhadap tiap tindakan kita terhadap masing-masing ayam. Adakah tuntukan hukum yang akan menjerat kita. Ataukah kita akan disebut sebagai orang yang tercela. Tentu tidak, begitulah kira-kira tuhan, memperlakuakn hambanya sesuai dengan proporsi dan kebutuhan. Insya Allah.." jawabku panjang lebar.

Dapat kita fahami bahwa pada hakikatnya tuhan itu memang 'Adil dan maha adil terhadap hambanya. Tidak pernah mendholimi mereka sediktpun. Satu kasus, dalam penciptaan manusia, ada seorang bayi yang lahir dari seorang non-muslim, karena aqidah orang tuanya seperti itu (kafir) maka sampai ia besar dan dewasa juga mengikuti aqidah orang tuanya. Dalam konteks ini sang anak tidak punya kesempatan untuk menerima dakwah/ajakan untuk masuk Islam. Lalu dimanakah letak keadilan tuhan?. Lagi-lagi tuhan masih adil koq kawan. bukankah saat awal penciptaan manusia Allah bertanya pada mereka, "Bukankah aku ini tuhan kalian?" tanya Allah. Mereka (manusia) menjawab, "Bala (ya betul, Engkau tuhanku).". Jadi tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah. Sebab, andaikata saat pertanyaan terhadap kesaksian terhadap eksistensi tuhan sebagai Robb dilontarkan kepada kita dan kita menjawab Na'am yang berati' Allah bukan tuhan Kita' maka Allah pasti tidak menurunkan kita ke dunia yang penuh tipu daya ini.

Jadi, sebagai seorang muslim, kita sebaiknya yakin dan optimis terhadap keadilan tuhan. Kiat boleh kritis terhadap keadilan tuhan namun jangan sampai mengoyahkan keimanan kita kepada-Nya. Kita boleh menggugat untuk melatih kecermatan berfikir namun dengan jalan yang tepat dan bijak hingga kita dapat menemukan sebuah jawaban yang memuaskan. Dan yang perlu ditekankan bahwa Allah sebenarnya pemilik segala sesuatu, pemilik hak prerogatif dalam perbuatannya dan itu tidak menodai keadilan tuhan. Ibarat perlakuan kita terhadap ayam-ayam yang Aku contohkan di atas, sekilas terkesan deskriminatif. Namun setelah kita telaah, tidak seperti itu, justru itu bentuk dari keadilan tuhan itu sendiri. Allah memperlakukan makhluk sesuai dengan proporsinya serta tidak membebani mereka kecuali pada batas kemampuannya.
Wallahu a'lamu bis-showab ...

Met Membaca!
Salam Karya!

Selasa, 02 Februari 2010

Telaah Sosiologis

Universitas Kehidupan (UK) yang Lebih Berperan Menentukan Kesuksesan


Sebenarnya sudah lama Aku ingin menuliskan ideaku mengenai hipotesis ini. Dan alhamdulillah sekarang terelisasi juga. Suatu waktu, Aku dan teman-teman menerima materi public speaking di Pondok yang diampu oleh Pak Imam Mudjiono. Di akhir pembicaraannya, beliau sempat berpesan dengan mengatakan kata bijak yaitu, "ketahuilah bahwa sesungguhnya Anda sedang menimba ilmu di 2 universitas, pertama di kampus yang sekarang Anda tempuh dan di Universitas Kehidupan." ungkapnya. Aku jadi tertarik dengan pernyataan itu, baru kali pertama Aku mendengar istilah Universitas Kehidupan. "Universitas Kehidupan lah yang sebenarnya lebih berperan dalam menentukan karir anda ke depan." lanjutnya.

Menarik sekalli bukan. Awalnya Aku sedikit bertanya tanya, apakah betul stetemen itu. Mungkinkah Universitas Kehidupan yang tak jelas statusnya itu mampu berbuat banyak demi suksesnya seorang mahasisiwa. Pertanyaan itu lah yan terus membayangiku setelah selesai kuliah malam itu. Dan akhirnya sedikit demi sedikit dapat Aku pahami bahwa benar adanya bahwa Uniiversitas Kehidupan banyak take a part dalam menentukan masa depanku. Bagaimana tidak Kawan! (meminjam istilah Mas Yasser), berapa persenkah pengetahuan yang kita dapatkan dari kampus dibandingkan dengan apa yang kita peroleh dari Universitas Kehidupan. Di universitas kehidupan kita mendapatkan apa yang belum dan atau tidak kita dapatkan di Kampus. Bahkan apa yang kita dapatkan di Kampus juga kita dapatkan di UK atau justru prosentasinya lebih rendah.

Universitas Kehidupan adalah sebuah universitas yang terus kita tempati, kamanapun kita pergi, sampai manapun kita melangkah dan berjalan, tiada dapat kita meninggalkannya. Atau dengan kata lain UK selalu menemani kita. Kita akan selalu mendapatkan pelajaran dari kisah perjalanan yang kita lewati. Kita akan selalu dapat mengambil hikmah dari kejadian yang kita alami. Kita akan selalu dapat mengambil pesan moral dan spiritual dari setiap masalah yang kita hadapi. Dan perlu kita ketahui bahwa kita tidak akan pernah lepas dari semua itu. Pelajaran, hikmah, nasihat, pesan moral dan spiritual yang kita dapatkan akan menjadi acuan dalam mengambil tindakan selanjutnya. Dan nantinya akan menjadikan kita bijak dalam segala hal. Sehingga kita Begitulah kira-kira Aktivitas di Universitas Kehidupan.

Dalam bergaul misalnya, kita dituntut untuk saling memahami, saling menyadari kekurangan dan menghargai perbedaan. Bagaimana kita harus bersikap dan berpelilaku akan kita dapatkan dalam materi kuliah Pergaulan. Dalam diskusi yang tak jarang kita lakukan dengan teman sekamar, dengan teman se-kampus di luar Universitas, mengajari kita bagaimana kita bisa menghargai pendapat orang lain, mendidik mental kita saat pendapat kita jauh dari kebenaran dan melatih kedewasan kita untuk bisa menerima argumen kawan dengan lapang dada jika ternyata benar adanya. Jadi kedewasaan akan kita dapatkan dalam materi kuliah yang dinamakan Diskusi antar kawan. Dan begitulah seterusnya. Jadi dapat kita simpulkan bahwa UK memang banyak ambil bagian dalam membentuk kepribadian insan, khususnya mahasiswa.

Dah dulu ya, law ada yan perlu didiskusikan, saya persilahkan untuk komen-komen. Aku mau maen bola dulu. Salam manis dariku! Bye bye, Met mambaca!

Senin, 01 Februari 2010

حقيقة الجهاد

HAKIKAT JIHAD: BERJUANG MELAWAN KETERPURUKAN


لاَّ يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُـلاًّ وَعَدَ اللّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْراً عَظِيما. (أالنساء: 95
)

“Tidaklah sama antara orang yang beriman yang duduk (yang tidak turut berperang) tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut perang tanpa halangan). Kepada masing-masing Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar”. (QS. an-Nisa’ [4]: 95)

Belakangan ini nampaknya ajakan (seruan/da’wah) untuk berjihad di jalan Allah sangat gempar dan marak sekali. Hal ini seiring dengan maraknya kasus penistaan islam oleh non-muslim dan kasus kriminalitas plus kemaksiatan yang tiada hentinya. Ada kelompok yang memang menyerukan itu (da’wah) dengan tujuan yang murni demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini. Di sisi lain ajakan ini tidak lebih hanya karena kepentingan politik yang hampa akan ruh agama di dalamnya. Atau adanya pemahaman yang sempit (ekstrim) terhadap konsep jihad yang diajarkan oleh Islam itu sendirinya. Sehingga wajar jika kemudian jika bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok tertentu dinilai sebagai tindakan yang menodai agama (melanggar HAM) dan menimbulkan kontroversi yang hangat dibicarakan. Padahal mereka melakukan itu dengan niat berjihad demi tegaknya kalimatullah (agama Allah), berjuang demi memberantas kemaksiatan yang ada di muka bumi. Lalu kenapa tindakan mereka yang seolah baik ini dikecam oleh banyak kalangan bahkan oleh intern umat Islam. Ada apa dengan tindakan itu, adakah yang salah dengan konsep jihad yang mereka pahami dan adakah konsep jihad yang lebih tepat dan sesuai (shalih) dengan kondisi zaman yang kita hadapi saat ini?

Islam adalah agama yang cinta damai, rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Ajaran yang terkandung di dalamnya sesuai dengan fitrah manusia, mengajarkan kebaikan (tolong menolong) dan menolak adanya kekerasan dan permusuhan. Bahkan dengan orang-orang kafir (non-muslim) sekalipun, Islam menerapkan adanya toleransi beragama yang menghendaki adanya keselarasan dan keterkaitan dalam masalah muamalah selama dalam batasan-batasan tertentu yang tidak berkaitan dengan teologi (aqidah). Disinilah letak keterbukaan Islam yang kemudian menarik simpati orang lain (non-Muslim) untuk mempelajari ajaran-ajarannya, bahkan tak sedikit dari mereka yang kemudian memeluk agama Islam dan berjuang demi agama (Islam) yang telah dipeluknya. Hal ini karena ajaran Islam adalah agam samawi yang bersumber dari wahyu ilahi yang memiliki kebenaran mutlak. Dengan konsep ini maka suatu saat manusia pasti akan kembali pada agama yang lurus (hanif). Jadi dengan konsep toleransi beragama yang diajarkan Islam, dengan sendirinya, bak mengalirnya air, akan mempengaruhi orang lain untuk simpati dengan Islam. Bukan dengan memerangi mereka dengan serta mereka tanpa sebab yang mewajibkan adanya perang itu.

Hakikat Jihad Kontekstual
Kata jihad berasal dari kata jahada – yujahidu – mujahadatan – wa jihadan yang berati perjuangan (berjuang). Dalam Alquran kata jihad terdapat dalam 3 ayat yaitu, al-Hajj: 78, al-Furqan: 52 dan al-Mumtahanah: 1. Dalam ayat-ayat di atas terdapat perintah Allah untuk berjihad dengan sebenarnya jihad dengan harta, lisan dan jiwa. Hal itu karena manusia adalah makhluk yang telah disucikan oleh Allah dengan keutamaan dibanding umat lainnya. Begitu juga terdapat perintah untuk berjihad dengan jihad yang besar dengan tujuan untuk mencari keridhoan Allah semata, tidak karena niat lainnya. Demikianlah kira-kira pengertian jihad jika kita pahami ayat-ayat yang nberkenaan dengan jihad. Tetapi kalau kita telaah secara keseluruhan, pengertian jihad menurut Alquran tidak terbatas pada masalah perang (qital) namun lebih dari itu adalah jihad dalam semua aspek kehidupan.

Menanggapi masalah di atas dan berangkat dari pengertian jihad menurut Alquran, sudah saatnya kita membangun sebuah konsep (paradigma) jihad kontekstual yang sesuai diterapkan pada masa ini. Sehingga jihad tidak lagi difahami secara sempit sebagai bentuk pengorbanan dengan rela mati asal dalam keadaan jihad. Karena pemahaman seperti ini justru tidak sesuai dengan ajaran luhur Islam. Bukan kah tidak ada paksaan (ikroh) dalam beragama, semua manusia bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya selama tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Bukan kah Islam menghendaki adanya hubungan yang saling menguntungkan antara sesama manusia tanpa memandang suku, ras dan agama. Dengan demikian maka kebaikan sosial akan tercermin dalam kehidupan masyarakat.

Berjuang dengan sekuat tenaga untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, kemaksiatan bukankah ini juga disebut jihad? Bukankah berusaha dengan penuh kesungguhan untuk memerangi kasus korupsi yang sekarang marak terjadi baik di kalangan pejabat, pengusaha, pekerja, bahkan rakyat biasa adalah jihad? Tidakkah mengerahkan segenap tenaga, memaksimalkan potensi dan kemampuan untuk menuntut ilmu, belajar dan mengajar demi melawan kobodohan adalah juga jihad? Maka jawabannya adalah iya, karena memang perjuangan seperti itu yang serasa begitu diperlukan pada saat ini. Dan sebenarnya cara seperti ini yang tepat diterapkan dalam abad ini. Sehinggan jihad tidak lagi dipandang sebagai jalan menuju surga yang ditempuh oleh individu tertentu tetapi menjadi sebuah cara yang bijak dan tepat untuk berjamaah meraih ridho ilahi dan tentunya bersama-sama menuju surga Allah. Mengenai masalah jihad Jamal al-Banna, adik bungsu Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin berkomentar dalam bukunya yang berjudul ‘al- Jihad’ sebagai berikut:

إِنَّ الْجِهَادُ فِى الْعَصْرِ الْحَاضِرِ لَيْسَ هُوَ أَنْ نَمُوْتَ فِى سَبِيْلِ اللهِ وَ لَكِنْ أَنْ نَحْيَ فِى سَبِيْل اللهِ.

Artinya: ”Jihad kontekstual adalah bukan mati di jalan Allah namun bagaimana kita hidup di jalan Allah” (Gamal al-Banna)

Sesuai dengan pernyataan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa hakikat jihad pada masa ini adalah bukan mati di jalan Allah melainkan bagaimana kita bisa hidup istiqomah di jalan Allah. Jihad bukan berarti teror yang kemudian disusul dengan bom bunuh diri dengan motif jihad dan mati syahid. Namun Jihad adalah bagaimana kita mengupayakan kemampuan kita semaksimal mungkin untuk menata hidup agar selalu berada pada tali agama Allah SWT, mampu memberikan manfaat kepada orang lain melalui kesungguhan yang kita lakukan. Jihad adalah suatu jalan untuk berjuang melawan kemiskinan, kebodohan, dekademsi moral dan segala bentuk kemaksiatan. Dan perlu digaris bawahi untuk mewujudkan itu semua tidak mesti dengan kekerasan yang akan mengakibatkan konflik yang berkepanjangan. Bukankah Islam mengajarkan hikmah (da’wah dengan jalan yang bijak), memberikan nasehat yang baik serta berdiskusi dengan cara yang baik pula dalam hidup ini untuk mengajak kepada kebaikan. Sehingg, jika konsep seperti ini yang dipegang teguh maka Jihad akan menjadi wahana untuk menciptakan kesalihan sosial dan keselamatan bersama.

Jihad pada masa ini sebaiknya lebih diorientasikan pada perang terhadap krisis moral bangsa. Perjuangan lebih diutamakan terhadap perbaikan mental bangsa yang selama ini melempen dan tak nampak taringnya. Dan yang paling urgen sepertinya adalah masalah korupsi yang rasanya kian hari semakin bertambah bnyak kasusnya. Korupsi sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh kalangan elit yang memiliki kesempatan, korupsi sebenarnya tidak selalu berhubungan dengan fulus (uang) tetapi lebih dalam dari itu adalah korupsi waktu, pemberian jasa, penghargaan dan lain-lain. Hal ini adalah penyebab keterpurukan dan ketertinggalan bangsa ini di mata dunia serta semakin merusak citra bangsa.

Epilog
Jihad sebagaimana kita fahami dari uraian di atas tidak terbatas pada perjuangan membela agama dengan berperang yang berimplikasi pada terbunuhnya pihak lawan (al-harb wal qital). Namun lebih jauh dari itu makna jihad adalah sebuah usaha yang keras untuk melakukan perbaikan dalam hidup ini. Memerangi kebodohan, memberantas kemiskinan, menetralisir kasus-kasus kriminal, mencegah terjadinya korupsi dan lain-lain adalah merupakan jihad juga. Karena dalam kesungguhan itu terdapat spirit jihad yang ada dalam Islam. Dengan seperti itu justru jihad akan bernilai sosial yang akan berdampak pada kebaikan umat dan kenyamanan hidup.

Oleh karena itu marilah kita kerahkan segala kemampuan diri kita untuk berjuang melawan kemalasan dan kemaksiatan yang selama ini kita lakukan. Kalau kita rajin dalam hidup ini maka banyak hal yang dapat kita lakukan dan banyak manfaat yang dapat kita sumbangkan untuk Islam. Semoga niat baik yang kita ikrarkan akan diridhoi oleh Allah dan kita berharap agar kita selalu diberikan kekuatan untuk tetap istiqomah berjuang dalam Islam demi tegaknya kalimatullah. Sebab, istiqomah dalam kebaikan (jihad) itu lebih baik daripada seribu kemulian sekalipun (al-istiqomah khairun min alfi karomah). Ya muqollibal qulub, tsabbit qulubana ‘ala dinika wa ‘ala tho’atika, amin ya Allah ya Robbal ‘alamin...
Wallahu a’lamu bis shawab ...


Samsul Zakaria,
Mahasiswa Prodi Syariah dan Santri PonPes UII angkatan 2009

Minggu Malam yang Menegangkan (Mas Tofa was The Trouble Maker)

Ketika Aku Dikerjain


Saat itu malam Senin, setelah solat Isya Aku dan temen-temen berencana pergi ke pameran di Sekaten, Alun-Alun. Pas Aku mau berangkat, tiba-tiba handphone ku berdering. Tak ku sangka, someone yang suaranya sedikit lantang tiba-tiba menerorku. "Kamu Samsul ya, siapanya DIA? Awas jangan ganggu DIA lagi ya!" ucapnya dengan nada sedikit meninggi. Akupun sentak jadi kaget, ada apa ini, adakah Aku telah berbuat kesalahan yang fatal hingga ada orang yang menerorku. Coz, as far, I think hubunganku dengan DIA baik-baik aja dan gak pernah ada someone yang resek palagi pakek neror-neor segala, kurang kerjaan! (maf Mas!).

Karena Aku mau buru-buru pergi dan males ngurusin gituan, tak matiin aja sambungan telponnya, biar masalah selesai. Aku pun kirim sms ke someone tadi, "Aku gak punya banyak waktu tuk ngurusin gituan." ucapku dalam sms itu. Ternyata dia gak terima dan mencoba untuk menghubungiku for the second time. Karena ada rasa takut juga, he.. be berapa kali Aku paksakan untuk tidak ngangkat telepon itu alias Aku reject sembari Aku kirim sms 'li marroh tsaniyyah' untuk menanyakan siapa sebenarnya dia dan apa maksudnya dengan mengatakan itu. Ia pun terus mencoba to call me dan kirim sms, "Alah pengecut! law kamu memang laki-laki angkat telponnya!" demikian cacinya dalam sms yan ia kirim. Dalam hatiku terbesit perasaan, "Wah, emangnya gua perempuan apa, sok kali bilang gitu, awas lho!"

Akhirnya Aku pun mengangkat panggilannya, "Ada apa sebenarnya, apa maksud Kamu, kamu siapnya DIA?" tanyaku. Ia pun mengatakan bahwa Ia adalah Mas nya DIA dan memintaku agar tidak mengganggu DIA lagi. Wah, tambah aneh aja pikirku, siapa sebenarnya ia, apa maunya. Selama ini Aku tidak pernah merasa mengganggu DIA dan DIA pun setahuku tidak pernah merasa terganggu. Someone itu pun tetap ngotot agar Aku tidak lagi mengganggu DIA, alasannya dia masih belajar dan butuh konsentrasi. Aneh, gak logis kali hujjahku!!! Aku saja menghubungi DIA kalaw pas pulang dan itupun law DIA smsku dulu. Tambah gundah saja batinku. Memang malam yang menegangkan sekaligus meyebalkan! heh!

Someone tadi menanyakan ke Aku, sebenarnya Aku ini siapanya DIA. Aku jawab saja law sebenarnya Aku punya hubungan dekat (dalam tanda kutip) ma DIA. Someone itu malah bilang ngajak ketemuan tuk bahas masakah ini. Ia menanyakan kapan Aku pulang. "Aku mah santai aja, pulang ke Lampung liburan semester 2 nanti" jawabnya dengan nada sedikit ngengkeng. Dia masih saja tidak terima dam lagi-lagi memaksaku untuk tidak menggnggu DIA lagi. Heh, kesal sekali Aku, ingin rasanya ketemu ma orang itu dan selesaikan masalah secara jantan. Ia bilang law DIA sering Online dari kampusnya, jad ia kira Aku sering ganggu DIA saat DIA online. Aku jawab saja bahwa yang buka FB DIA saat ini adalah Aku dan Aku sering komen-komen lewat Wall nya. Ketika itu juga ia ketawa terbahak-bahak dan bilang, "Kamu ketahuan, ternyata selama ini kamu yang coba mengintrogasiku, he he..".

Astagfitullah, ternyata ia adalah masku. Bajigur!!!!. Memang selama ini Kami sering olok-olokkan masalah cewek. Dia iseng ngerjain Aku karena sebelumnya Aku kirim sms yang sedikit menyinggung perasaannya kali, (May be lho Mas?). Agaknya dia Take revenge nich ma Aku. Mas, Mas, ulahmu sempat membuat jantungku nyaris cocot. Aku sangka sampean laki-laki yang dulu pernah jadi kekasihmya. Aku kira sampean teroris setelah Nordin M Top, yang tidak lagi kau kafir sasarannya tapi para pencari cinta mangsanya. Heh, dasar!


Met membaca!