Minggu, 21 Februari 2010

Telaah Sosiologis Agama

FLEKSIBILITAS ISLAM DALAM MERESPON MASALAH KONTEMPORER



Islam adalah agama samawi (ilahi) yang diturunkan oleh Allah kepada umat Muhammad sebagai pelengkap dari agama samawi yang telah ada sebelumnya. Artinya Islam bukanlah agama yang muncul berdiri sendiri (mustaqil) di atas sendi ajaran yang tidak berkorelasi dengan agama sebelumnya yang diemban oleh rasul terdahulu, tetapi Islam berfungsi sebagai penyempurna ajaran agama sebelumnya. Sehingga tidak heran jika banyak syariat Islam yang diturunkan (diambil) dari syariat umat terdahulu (syar’u man qoblana). Hal ini karena Islam tiada lain adalah sebagai batu bata terakhir yang dipasang untuk melengkapi bangunan yang telah tersusun sebelumnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan bahwa pada saat itu (sebelum rasul wafat) islam telah sempurna dan tiada lagi agama sesudahnya.

Di sisi lain Islam itu agama yang mengandung syariat (tata hukum) yang fleksibel atau transparan dan luwes. Aturan hukumnya mampu disesuikan dengan kondisi kapan dan dimana hukum itu akan diterapkan. Sehingga tak heran jika muncul sebuah adagium, ‘Islam sholihun li kulli zaman wa makan (Islam itu sesuai dengan waktu dan tempat)’. Artinya keluwesan dari hukum Islam itu yang menjadikan Islam arif dan mudah didakwahkan kepada umat manusia. Ajaran yang terkandung di dalamnya tidak saklek yang akan menimbulkan kesan kaku dan tidak dapat beradaptasi. Tetapi justru Islam mampu menjawab tantangan dan permasalahan umat masa kini atau yang lebih kita kenal dengan masalah kontemporer.

Sumber ajaran Islam itu sendiri luas, dengan sumber utama Alquran dan al-Hadits. Alquran sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril berfungsi sebagai ktab undang-undang yang mengatur segala aspek kehidupan. Selain Alquran juga ada hadits yang selain berfungsi sebagai tafsiran dari kandungan (madlul) Alquran juga sebagai pelengkap dan sumber hukum yang tidak dijelaskan dalam Alquran. Dari dua sumber utama ini tentu tidak serta merta dapat diterapkan dalam amal perbuatan manusia. Ada metodologi (tata cara) penerapan ajaran Islam itu sendiri sehingga kita kenal Ushul Fiqh dalam kazanah keilmuan hukum Islam. Ilmu ini kemudian berfungsi sebagai dasar menentukan hukum praktis (amaliyah) yang disebut dengan Fiqh. Sedangkan Figh sendiri merupakan ilmu mengenai hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Materi Fiqh sendiri sangat luas dan banyak ragamnaya. Dari materi-materi yang universal tadi ditemukan materi yang sejenis yang kamudian dikumpulkan dalam kaidah Fiqh (qawaid fiqhiyah). Demikian lah kira-kira sekilas sistematika hukum Islam itu sendiri.

Sebagaimana kita maklumi bahwa hukum adalah sesuatu yang fleksibel, mudah berubah sesuai dengan kondisi dan terkadang tergantung pada kebijakan para pengambil keputusan (pemerintah). Hal ini karena tujuan dari syariat itu sendiri adalah demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Sehingga manakala hukum yang telah ditetapkan tidak lagi menimbulkan maslahat atau bahkan berdampak pada kerusakan (mudharat) maka bisa saja disepakati hukum baru demi terciptanya kemaslahatan tadi. Dalam islam hal ini boleh-boleh saja asalkan masih dalam koridor muamalah bukan pada inti ajaran Islam yaitu aqidah atau apa yang sudah jelas dan tetap dalam agama (al-ma’lum minad din bidh dharurah). Sehingga terdapat kaidah ushul fiqh yang menjelaskan kefleksibelitasan islam dalam masalah hukum yang berbunyi, ‘al-hukmu yataghayyaru bitaghayyuril amkinah wal azminah’, hukum itu berubah sejalan dengan perubahan situasi dan kindisi. Artinya Islam menghendaki kemaslahatan yang sebesar-besarnya terhadap umatnya dengan keluwesan hukum yang ada.

Dalam kajian hukum Islam kita mengenal qaul qodim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru) Imam Syafi’i. Qaul qodim adalah fatwa Syafi’i tatkala ia masih berada di baghdad sedangkan qoul jadid adalah fatwa baru dari Syafi’i setelah pergi dari Baghdad, di Mesir tepatnya. Ini adalah satu indikasi akan flesibelitas hukum islam, dimana Syafi’i, seorang imam madzhad memiliki dua pendapat yang berbeda terkait masalah fiqh. Apabila distingsi itu kita temukan dari dua ulama’ maka hal itu bisa kita katakan wajar namun manakala ikhtilaf itu terdapat pada satu imam, ini yang menjadi bahan renungan. Sehinggan dapat kita fahami bahwa hukum itu tidak tetap, tetapi bisa berubah dan disesuikan dengan keadaan sebagaimana yang dilakukan oleh Syafi’i. Mungkin saja andaikata Syafi’i tinggal di Indonesia akan merumuskan qaul jadid ala Indonesia. Sekarang saja Indonesia telah memiliki Kompilasi Hukam Islam (KHI) ala Indonesia yang banyak mengadopsi pendapat Syafi’i.

Mengenai fleksibelitas Islam itu sendiri nampaknya mengandung banyak hikmah bagi umat islam. Apabila Islam itu kaku maka akan banyak ditemui kesulitan untuk menerapkan hukum terhadap semua umat. Padahal umat ini berbeda beda, baik latar belakang, kondisi tempat dan waktu dan juga pemikirannya. Dalam islam sendiri kita telah mengenal, ‘ma ja’alallahu fid dini min haraj (sekali-kali Allah tidak menbuat kesusahan bagimu dalam agama)’. Kalau saja Allah sebagai syari’ (pembuat hukum) menghendaki adanya kemudahan dalam agama mengapa kita mesti menyusahkan diri dalam agama. Seorang yang mampu solat dengan berdiri, wajib baginya shalat dengan berdiri namun manakala ia mendapati kesusahan maka boleh saja shalat dengan duduk bahkan berbaring sekalipun. Seorang yang mampu berpuasa misalnya, wajib baginya untuk berpuasa namun manakala haraj (kondisi yang menyulitkan) mendapatinya maka tidaklah wajib baginya berpuasa pada waktu itu dengan catatan ia masih wajib mengganti puasanya pada hari yang lainnya atau dengan membayar fidhyah.

Hukum Islam sendiri merupakan tata aturan yang rentan dengan masalah kontemporer yang terkadang sama sekali belum ada aturan hukumnya. Hal ini karena pada waktu rasul masih hidup masalah itu tidak ditemukan sehingga untuk menentukan hukumnya diperlukan adanya ijtihad yang berlandaskan Alquran dan Hadits. Mengenai masalah ini, pemerintah Indonesia khusunya telah menbentuk badan yang berfungsi untuk menanggapi permasalahan yang bergulir di tengah kehidupan umat yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada pondok pesantern misalnya banyak kita jumpai pertemuan yang mengkaji masalah kekinian yang ada yang kita kenal dengan istilah bahtsul masail. Hal ini merupakan manifestasi daripada keluesan Islam dalam menjawab tantangan dunia modern. Sebab islam bukanlah agama yang jumud (statis) melainkan agama yang dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman dan permasalahan umat. Sehingga umat islam mampu bersaing dan hidup dengan segala kemaslahatan pada era modern ini.

Islam juga menghendaki adanya hubungan yang harmonis dengan pemerintah. Sebab pemerintah sebagai pemegang kekuasaan adalah partner agama dalam masalah syariat Islam. Misalnya saja, belakangan ini banyak beredar isu kontemporer di tengah masyarakat, kita ambil contoh yang mungkin masih hangat dibicarakan yaitu rencana rumusan Rancangan Undang-undang (RUU) yang mengatur tentang nikah siri dimana pelakunya akan dikenai pidana berupa kurungan penjara dan denda meterial. Hal ini tentu menyangkut dua dimensi, di satu sisi nikah itu adalah urusan agama terkait dengan tata cara dan hukumnya namun di sisi lain aturan pidana tentang nikah siri dengan alasan akan menimbulkan banyak mudharat adalah ranah hukum negara. Disini lah, peran islam dalam menjawab permalahan yang selalu hadir di tengah-tengah umat. Sehingga, dengan adanya keharmonisan antara agama dan pemerintah dibutuhkan kerjasama dan keterkaitan yang saling mengisi dan melengkapi antara agama dan pemerintah. Dalam masalah nikah siri tadi sebenarnya dalam syariat Islam sah adanya dan tidak memilki sanksi apapun bagi pelakunaya. Namun karena Islam meghendaki kemaslahatan maka demi terciptanya sebuah kebaikan, pidana terhadap pelaku nikah siri juga dibenarkan dan sekali lagi tidak menyalahi syariat. Dalam ushul fiqh terdapat sebuah kaidah yang berbunyi, ‘dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbul mashalih (mancegah adanya kemungkinan timbulnya mudharat itu dikedepankan dalam rangka memperoleh kemaslahatan)’.

Demikianlah kiranya penjelasan mengenai fleksibelitas Islam dalam menanggapi masalah kontemporer umat. Dimana Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) merupakan agama yang berfungsi untuk memelihara manusia dari mudharat dan menginginkan adanya kebaikan dan kemaslahatan. Sesuai dengan konsep ini maka manakala hukum islam itu tidak lagi menimbulkan kemaslahatan maka memungkinkan perumusan hukum baru yang disesuikan dengan kondisi mukallaf (orang yang terkena pembebanan hukum) dan keadaan kala itu sehingga kemaslahatan itu akan tetap terpelihara. Hal ini karena sejatinya Allah swt menginginkan adannya kemudahan dalam beragama sebagaimana firmannya yang berbunyi, “innallaha yuridu bikumul yusro (sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan bagi kalian)”. Sehingga islam mudah diterapkan dalam kondisi apapun dan dimanapun juga karena islam memiliki konsep maslahat yang tidak dimiliki oleh agama lainnya. Wallahu a’lamu bish shawab...

Semoga bermanfaat!!!


Samsul Zakaria
Mahasiswa Prodi Syariah FIAI dan Santri PonPes UII angkatan 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullahu khairan katsiran...