Senin, 29 Maret 2010

Refleksi Kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan di Indonesia

Selamat Jalan UN!



Ujian Nasional (UN/Unas) untuk tingkat SMA/MA sudah berakhir Jumat kemarin dan Senin ini akan dilanjutkan pada tingkat SMP/MTs. Terlepas dari fair atau tidaknya ujian itu nampaknya tetap menimbulkan kesan tersendiri bagi para siswa yang menjalaninya. Pertama, bagi mereka yang mungkin mengerjakan soal-soal yang diujikan dengan jujur, kerja sendiri, akan dihantui oleh perasaan takut dan cemas. Mereka khawatir andai jawaban ujian yang benar-benar mereka kerjakan sendiri itu banyak mengandung kesalahan. Hal ini berdampak pada ketidakcapain score pada standar nilai yang ditentukan. Pada akhirnya, ketidaklulusan akan menjadi momok yang menghantui mereka. Dan yang kedua, bagi mereka yang mungkin karena kondisi tertentu tidak mengerjakan soal Unas itu dengan fair, terlepas tendensi apa yang melatarbelakangi mereka kala itu. Hal itu menyebabkan mereka akan merasa bersalah dan menimbulkan perasaan tidak enak dalam pikiran mereka dan berdampak pada ketidaktenangan jiwa secara psikis. Dilematis memang. Dan nampaknya kondisi itu akan terus dialami siswa setiap tahunnya jika sistem Unas sebagai penentu kelulusan ini tetap digulirkan.

Aku sendiri pernah mengalami kondisi seperti itu. Ketika itu (tahun 2009) aku dan kawan-kawan mengahadapi Unas dengan penuh kekhawatiran. Kala itu aku merasakan sesuatu yang begitu dilematis. Bak makan buah simalakama, dimakan bahaya, gak dimakan perut sudah terlampau membutuhkan. Sepeti itu lah kira-kira. di satu sisi aku pribadi ingin Unas itu akan berjalan dengan mulus, fair, tanpa kecurangan sehingga hasilnya pun akan betul-betul murni dan memuaskan. Di sisi lain kondisi kala itu begitu memaksa saya untuk melakukan tindakan yang saya kira naif dalam hidup saya. Siapa sih yang gak ingin jujur, siapa sih yang ingin berbohong. Nurani manusia akan berteriak sekencang-kencangnya bahwa jujur itu mulia dan dusta itu hina. Tapi, apa hendak di kata andaisaja keadaan mengendaki ketidak-fairan. Memang betul kata orang, jujur itu sulit, jujur itu pahit. Namun, sulit itu bukan berarti tidak bisa ditempuh, pahit itu bukan mustahil akan berubah menjadi manis.

Suasana menjelang ujian kala itu begitu menegangkan dan memprihatinkan. Kenapa aku katakan demikian. Ya, ketika itu persiapan dari pihak sekolah dilakukan sedemikian rupa. Para siswa sudah dibekali materi tambahan khusus mata pelajaran yang di-UN-kan. Seolah pelajaran lain yang tidak masuk UN tidak memberikan kontribusi apapun bagi siswa (dinafikan begitu saja). Memangnya sekolah cuma buat dapat ijazah doang. Emang sekolah cuma buat dapetin 6 (enam) pelajaran yang di-UN-kan. Tentu tidak. Sekali lagi memang sistem yang menghendaki itu dan aku sama sekali tidak menyalahkan sekolah. Dan memang tepat jika sekolah mengadakan bimbel intensif dalam rangka menghadapi Unas. Dan lagi-lagi itu adalah konsekuensi logis dari berlakunya aturan pemerintah tentang adanya ujian nasional itu. So, yang perlu dibenahi itu sistemnya, bukan pembelajaran di sekolah. Sekolah juga telah mengahadirkan motivator untuk sekadar memberikan kami motivasi dan stimulus untuk belajar ekstra guna menghadapi UN. Menjelang perhelatan akbar itu pun kami telah mengelar itstighasah di masjid Jami' MAN 1 Model Bandar lampung. Ya, sekitar itu lah aktivitas kami menjelang UN kala itu.

Ujian Nasional sebagaimana sudah kita ketahui bersama adalah sebuah wahana yang digunakan pemerintah untuk menilai keberhasilan pendidikan di Indonesia secara keseluruhan. Hal ini terbukti bahwa hasil UN masih dijadikan penentu kelulusan siswa, artinya UN lah yang menentukan berhasil tidaknya siswa di sekolah. Hal ini justru kontras dengan apa yang sesungguhnya menjadi tujuan dari pendidikan itu. Pendidikan sejatinya bertujuan menciptakan generasi penerus bangsa yang mampu hidup dan bersaing di zaman globalisasi ini. Pendidikan itu memiliki niatan yang baik untuk menghasilkan out put yang mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan bangsa ini. Pendidikan hakikatnya berfungsi memberikan bekal keterampilan dan kreativitas bagi para siswa. Adanya UN, dengan sendirinya akan mereduksi tujuan awal (hakikat) dari pendidikan itu sendiri.

Apalah arti sebuah nilai, walaupun sesuatu tanpa nilai pun tidak berarti. Nilai sempurna 10 (sepuluh) UN misalnya, tidaklah memberi jaminan bahwa yang bersangkutan benar-benar menguasi mata pelajaran tersebut (hal ini tidak mutlak adanya). Bisa saja ia mendapatkan nilai ini karena pada malam ujian tidak tidur, semaleman suntuk belajar dan mengahafal semua materi pelajaran. Apakah kemudian semua materi yang dia hafal malam itu akan tetap terkristal dalam fikiran, atau justru setelah ujian akan lenyap di telan masa dan karena belajar melebihi porsi menyebabkan ketidaksehatan saraf. Semuanya mungkin terjadi. Di sisi lain mungkin saja nilai itu didapat dengan penuh kecurangan, mencontek, kerja sama dan banyak cara naif lainnya. Dari sini lagi-lagi nilai itu bukanlah standar mutlak untuk mennetukan keberhasilan studi siswa. Tidak menutup kemungkinan mereka yang nilainya pas-pasan malah memiliki kredibilitas dan pemahaman yang lebih terhadap materi pelajaran dibanding mereka yang memperoleh nilai sempurna hanya karena belajar semalam atau nyontek pekerjaan kawan.

Alhamdulillah, patut kita syukuri, Ujian Nasional (UN) itu telah berakhir bagi para siswa SMA atau MA. Tinggal menunggu hasilnya. Besar harapanku semua adik-adik yang mengikuti ujian itu lulus seratus persen. Semua peserta UN bisa lulus dengan hasil memuaskan dan diterima di universitas favorit yang telah menjadi pilihannya. Amin. Sekali lagi ini adalah sebuah kontemplasi terhadap UN yang dijadikan regulasi formal (bebijakan pemerintah) sebagai penentu kelulusan siswa. Tulisan ini hanya sekadar refleksi terhadap situasi dan kondisi sekolah menjelang UN dan ketika pelaksaan UN itu sendiri. Sedikit banyak kita ketahui dan sadari bahwa UN hakikatnya justru mengajari siswa (mungkin juga pihak sekolah) untuk melakukan kecurangan sistemik terselubung secara massal alias besar-besaran. Di mana jawaban Ujian biasnya sudah didapat oleh para siswa sehari sebelum ujian berlangsung, baik melalui sms (pesan singkat) atau media lainnya. Hal ini aku kira dilatarbelakangi oleh kekhawatiran akan ketidaklulusan siswa jika tidak ditempuh cara itu. Karena tingkat kelulusan UN juga menjadi daya tawar sekolah bagi masyarakat. Sekolah yang memiliki kuantitas kelulusan yang tinggi tentu memilki daya tarik dan jual tersendiri di mata masyarakat dibanding dengan sekolah yang hanya mampu meluluskan tidak lebih dari 80 % siswanya.

Selamat jalan Ujian Nasional (UN)! Kau lah yang menjadi penentu kelulusna adik-adikku. Semoga engkau bisa berlaku bijak hingga mereka yang mengikuti UN bisa lulus seratus persen dengan nilai yang baik dan memuaskan tentunya. Dan bagi adik-adik, perjuanganmu tidak berhenti sampai di sini. UN bukanlah segalanya, UN hanyalah batu loncatan adik-adik untuk menapaki kehidupan yang lebih menantang dan menarik. Pilihlah universitas yang baik dan unggul demi masa depan kalian juga. Imam Zarkasy pernah berkata, “Perjalanan seratus kilo meter itu dimulai dengan ayunan langkah kaki yang pertama.” Maka anggaplah UN sebagai akhir masa pendidikan kalian di Madrasah Aliyah juga sebagai langkah awal untuk menata kehidupan ke depan yang lebih baik dan menjanjikan tentunya. Dan hanya kepada Allah Yang Maha Adil dan Kuasa lah kita semua berharap akan rahmat, karunia dan ridhanya. Semoga Allah SWT menunjuki jalan yang terbaik bagi kita semua hingga kita dapat memperolah kebahagian di dunia dan di akhirat kelak (as-sa’adah fi ad-darain). Amin, ya Allah ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lamu bi ash-sahwab...




Samsul Zakaria,
Kawah Candradimuka,
Pondok Pesantren Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta

(Tulisan singkat ini penulis persembahkan untuk adik-adik tercinta yang berada di Asrama [Boarding School] Madrasah Aliyah Negeri 1 Model Sukarame, Bandar lampung)