Jumat, 31 Desember 2010

Nasib Timnas Paska Piala AFF

Nasib Timnas Paska Piala AFF
Oleh: Samsul Zakaria
(Mahasiswa Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)


Dalam ajang Piala AFF tahun ini Indonesia termasuk tim yang tangguh. Semua rakyat Indonesia patut berbangga dengan penampilan cantik yang diperlihatkan timnas Indonesia. Walaupun pada babak final leg pertama Indonesia harus kalah telak atas Malaysia dengan score 0-3, tidak menyurutkan semangat timnas dan pecinta bola tanah air. Setidaknya Indonesia masih berpeluang emas untuk menjadi jawara pada piala AFF kali ini. Pasalnya nanti malam pukul 19.00 WIB, timnas akan kembali berhadapan dengan Malaysia di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Jika timnas mampu memanfaatkan kesempatan (chance) bisa jadi Malaysia akan dilumat habis nantinya. Dengan demikian timnas bisa memastikan diri sebagai juara Piala AFF tahun 2010.

Euforia bangsa Indonesia tentu tidak selaiknya berhenti pada keberhasilan timnas masuk babak final AFF kali ini saja. Para pecinta bola tanah air senantiasa menantikan kesuksesan timnas pada masa mendatang. Kalau di tingkat Asean timnas sudah cukup disegani maka seharusnya timnas terus meningkatkan performanya pada laga Asia. Dan tidak menutup kemungkinan kalau melihat permainan dan perkembangan sepak bola tanah air, 5 tahun ke depan Indonesia bisa maju berlaga pada piala dunia (world cup). Kalau hal ini bisa dicapai maka persepakbolaan nasional akan terus menjadi oasis di tengah dahaga mendalam akan kebanggaan bangsa terhadap tanah airnya.

Nasib Timnas ke Depan
Piala AFF boleh berakhir namun gema sepak bola tidak boleh purna. Sepak bola Indonesia yang dikomandoi oleh PSSI harus terus berbenah diri. Pengalaman yang didapatkan selama pertandingan harus menjadi pelajaran berharga untuk menetukan langkah ke depan. Langkah tersebut adalah langkah jitu yang mempertaruhkan nasib timnas Indonesia ke depan. Apabila strategi yang diambil memang tepat maka skuad timnas akan menuju punjak kejayaan. Namun apabila sampai salah mengambil keputusan maka timnas justru akan terseok-seok dan tidak mendapat apresiasi positif dari publik.

Timnas Indonesia di bawah naungan PSSI harus tetap menjaga soliditas (solidity) permainan mereka. Soliditas ini hanya mampu terbangun jika timnas terus melakukan latihan yang intensif dan kontinu. Dengan adanya latihan tersebut maka timnas kita akan terus memperlihatkan permainan cantiknya dan menjadi tim yang selalu meraih gelar juara. Gelar yang tidak hanya menjadi kebanggaan PSSI tetapi gelar yang juga dihadiahkan bagi seluruh rakyat Indonesia tentunya. Sebuah kado istimewa bagi bangsa akan tercatat dalam rangkaian panjang sejarah bangsa.

Sudah saatnya bagi PSSI untuk merekrut pemain muda yang berbakat untuk dilatih dengan intensif. Hal ini tentu akan lebih efektif untuk meningkatkan performa timnas Indonesia kedepannya. Sekarang timnas boleh dikatakan mapan namun kalau dilihat dari konstruksi pemain, masih banyak didominasi pemain kawakan (senior). Bambang Pamungkas yang sudah familiar malang melintang dalam timnas tentu sudah saatnya untuk dicarikan gantinya. Bukan sama sekali meragukan kemampuan pemain senior, tetapi menciptakan generasi baru yang lebih unggul adalah lebih penting. Melihat kondisi ini PSSI seharusnya segera mengambil langkah agresif dengan mengadakan regenerasi pemain. Dengan adanya regenerasi yang baik maka akan meningkatkan spirit timnas dan penampilan ke depan.

Setelah mampu melakukan regenerasi maka tugas berat juga ada di pundak PSSI. Mereka yang sudah tergabung dalam timnas harus dilatih dengan serius dan berkelanjutan. Latihan yang serius akan menghasilkan out put yang baik dan unggul. Dan dengan latihan yang berkelanjutan akan terbangun kekompakan antar pemain dan tentu menghasikan keluaran yang terbaik pula. Kalau hal ini mampu diwujudkan maka akan sangat mudah bagi timnas untuk mengungguli saingannya dalam setiap laga. Sehingga timnas tidak hanya dibanggakan pada Piala AFF kali ini tetapi juga pada puluhan kompetisi lain di masa mendatang. Hal ini mengingat bahwa sepak bola adalah salah satu cara jitu untuk menumbuhkan rasa nasionalisme yang mendalah. Kalau prestasi timnas tersu terukir maka nasionalisme bangsa juga akan senantiasa terjaga dan terpupuk.

Selain langkah di atas, satu hal yang seyogyanya dilakukan PSSI adalah mengadakan uji coba (sparing) dengan tim handal dunia. Dengan adanya sparing ini diharapkan timnas akan mengambil pelajaran berharga untuk diaplikasikan dalam permainan mereka. Selain itu uji coba tersebut dimaksudkan untuk melihat sejauh mana performa timnas dibanding dengan tim kelas dunia. Setelah uji coba maka akan ada evaluasi dalam rangka meningkatkan mutu permainan timnas selanjutnya. Evaluasi ini dilakukan secara berkelanjutan untuk mengiringi progresivitas permainan timnas. Dengan demikian maka timnas akan selalu siap menghadapi semua rivalnya di medan laga.

Untuk mewujudkan timnas yang solid dan unggul tentu membutuhkan dukungan dari banyak pihak. Dalam hal ini pemerintah mamiliki peran yang sangat penting. Dukungan moral maupun material yang diberikan akan mempengaruhi semangat timnas. Di sisi lain peran pihak swasta juga penting untuk mendukung finansial pembiayaan timnas Indonesia. Dan yang paling utama juga dukungan dari seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian maka kedepannya, nasib timnas Indonesia akan berjaya. Lagu kebangsaan Indonesia Raya akan berkumandang di kancah persepakbolaan internasional. Garuda akan berada di puncak nirwana sebagai bukti kesuksesan timnas Indonesia.

Minggu, 31 Oktober 2010

Belajar dari Mbah Maridjan

Belajar dari Mbah Maridjan


Mendengar kabar bahwa almarhum Mbah Maridjan ditemukan wafat dalam posisi sujud memberikan kesan religius (agamis) yang dahsyat dalam hatiku. Betapa mulianya orang yang menemui akhir hidupnya dalam kondisi yang semua orang beragama menganggapnya sebagai sebuah purna yang sempurna (al-husnul al-khatimah). Sebuah penghambaan yang total terhadap Tuhan yang telah memberinya kesempatan hidup. Sebagai bentuk penyerahan diri kehadirat-Nya dibarengi kesedian untuk selalu menjalankan perintah-Nya (‘ibadah). Menjadi pertanyaan dalam diriku, “Mungkinkah kita menemui ajal layaknya Mbah Maridjan, dihampiri Malaikat Izrail dalam posisi bersujud?”. Ya Allah panggilah kami nanti dalam keadaan yang baik.

Mbah Maridjan yang selama ini dikenal sebagai abdi dalem yang juga juru kunci Merapi memiliki kepribadian yang patut dijadikan teladan. Betapa tidak, begitu taatnya Mbah Maridjan terhadap Sultan Hamengkubuwono IX hingga ia menolak untuk mengungsi walaupun diperintahkan oleh HB X. Padahal kondisi Merapi sudah sangat berbahaya. Semburan awan panas alias Wedus Gembel sudah mulai menyusuri daerah sekitar yang berjarak maksimal 10 kilometer. Semua warga yang lain sudah beranjak dari desanya menuju tempat yang aman. Mencari keselamatan untuk bisa mempertahankan kehidupan. Namun Mbah Maridjan masih dengan tenangnya berdiam (stand by) diri di kediamannya.

Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Mbah Maridjan adalah orang yang loyal, berdedikasi tinggi terhadap suatu titah yang agung. Walaupun kematian mengancam tidak menjadi masalah yang berarti. Kepatuhan terhadap perintah dan kesadaran untuk mengabdi demi kepentingan orang banyak menjadi komitmennya. “Al-mautu râhatun li al-mu’minîn,” demikian kata orang bijak. Kematian adalah tempat peristirahatan bagi orang-orang mukmin. Setelah purna menyelesaikan tugasnya Mbah Maridjan menenui ajalnya. Mungkin ini adalah kenyataan yang pahit, terselubung kesedihan. Sepeninggal beliau tentu menyisakan pekerjaan yang tidak mudah. Akan sulit mencari sosok yang tepat menggantikan posisi beliau. Namun setidaknya kita wajib memberikan apresiasi kepadanya atas segala pengorbanan dan jasanya.

Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi bangsa, khususnya bagi para politisi. Kehidupan dunia yang melenakan bukanlah tujuan utama. Bekal amal kebaikan adalah prioritas demi menuju singgasana Tuhan. Menuju keabadian yang dihadapkan pada dua kenyataan. Baik amal yang dilakukan maka balasan kebaikan pula yang akan didapatkan dan sebalinya. Kesederhaan yang ditampilkan oleh Mbah Maridjan menunjukan bahwa kesuksesan itu bukanlah bangga terhadap pencapain hidup namun bagaimana manusia sadar akan siapa dirinya sesungguhnya. Pantaskah bermewah-mewahan di tengah-tengah kehidupan bangsa yang berjuta rakyat miskin bertebaran. Layakkah berkunjung –jika tidak patut dikatakan plesiran- di saat bangsa ini dirundung duka nestapa. Selamat jalan Mbah Maridjan. Semoga rahmat-Nya senantiasa mengiringi kepergianmu menuju alam baka. Amin,


Sams Airakaza,
29 Oktober 2010,



Senin, 29 Maret 2010

Refleksi Kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan di Indonesia

Selamat Jalan UN!



Ujian Nasional (UN/Unas) untuk tingkat SMA/MA sudah berakhir Jumat kemarin dan Senin ini akan dilanjutkan pada tingkat SMP/MTs. Terlepas dari fair atau tidaknya ujian itu nampaknya tetap menimbulkan kesan tersendiri bagi para siswa yang menjalaninya. Pertama, bagi mereka yang mungkin mengerjakan soal-soal yang diujikan dengan jujur, kerja sendiri, akan dihantui oleh perasaan takut dan cemas. Mereka khawatir andai jawaban ujian yang benar-benar mereka kerjakan sendiri itu banyak mengandung kesalahan. Hal ini berdampak pada ketidakcapain score pada standar nilai yang ditentukan. Pada akhirnya, ketidaklulusan akan menjadi momok yang menghantui mereka. Dan yang kedua, bagi mereka yang mungkin karena kondisi tertentu tidak mengerjakan soal Unas itu dengan fair, terlepas tendensi apa yang melatarbelakangi mereka kala itu. Hal itu menyebabkan mereka akan merasa bersalah dan menimbulkan perasaan tidak enak dalam pikiran mereka dan berdampak pada ketidaktenangan jiwa secara psikis. Dilematis memang. Dan nampaknya kondisi itu akan terus dialami siswa setiap tahunnya jika sistem Unas sebagai penentu kelulusan ini tetap digulirkan.

Aku sendiri pernah mengalami kondisi seperti itu. Ketika itu (tahun 2009) aku dan kawan-kawan mengahadapi Unas dengan penuh kekhawatiran. Kala itu aku merasakan sesuatu yang begitu dilematis. Bak makan buah simalakama, dimakan bahaya, gak dimakan perut sudah terlampau membutuhkan. Sepeti itu lah kira-kira. di satu sisi aku pribadi ingin Unas itu akan berjalan dengan mulus, fair, tanpa kecurangan sehingga hasilnya pun akan betul-betul murni dan memuaskan. Di sisi lain kondisi kala itu begitu memaksa saya untuk melakukan tindakan yang saya kira naif dalam hidup saya. Siapa sih yang gak ingin jujur, siapa sih yang ingin berbohong. Nurani manusia akan berteriak sekencang-kencangnya bahwa jujur itu mulia dan dusta itu hina. Tapi, apa hendak di kata andaisaja keadaan mengendaki ketidak-fairan. Memang betul kata orang, jujur itu sulit, jujur itu pahit. Namun, sulit itu bukan berarti tidak bisa ditempuh, pahit itu bukan mustahil akan berubah menjadi manis.

Suasana menjelang ujian kala itu begitu menegangkan dan memprihatinkan. Kenapa aku katakan demikian. Ya, ketika itu persiapan dari pihak sekolah dilakukan sedemikian rupa. Para siswa sudah dibekali materi tambahan khusus mata pelajaran yang di-UN-kan. Seolah pelajaran lain yang tidak masuk UN tidak memberikan kontribusi apapun bagi siswa (dinafikan begitu saja). Memangnya sekolah cuma buat dapat ijazah doang. Emang sekolah cuma buat dapetin 6 (enam) pelajaran yang di-UN-kan. Tentu tidak. Sekali lagi memang sistem yang menghendaki itu dan aku sama sekali tidak menyalahkan sekolah. Dan memang tepat jika sekolah mengadakan bimbel intensif dalam rangka menghadapi Unas. Dan lagi-lagi itu adalah konsekuensi logis dari berlakunya aturan pemerintah tentang adanya ujian nasional itu. So, yang perlu dibenahi itu sistemnya, bukan pembelajaran di sekolah. Sekolah juga telah mengahadirkan motivator untuk sekadar memberikan kami motivasi dan stimulus untuk belajar ekstra guna menghadapi UN. Menjelang perhelatan akbar itu pun kami telah mengelar itstighasah di masjid Jami' MAN 1 Model Bandar lampung. Ya, sekitar itu lah aktivitas kami menjelang UN kala itu.

Ujian Nasional sebagaimana sudah kita ketahui bersama adalah sebuah wahana yang digunakan pemerintah untuk menilai keberhasilan pendidikan di Indonesia secara keseluruhan. Hal ini terbukti bahwa hasil UN masih dijadikan penentu kelulusan siswa, artinya UN lah yang menentukan berhasil tidaknya siswa di sekolah. Hal ini justru kontras dengan apa yang sesungguhnya menjadi tujuan dari pendidikan itu. Pendidikan sejatinya bertujuan menciptakan generasi penerus bangsa yang mampu hidup dan bersaing di zaman globalisasi ini. Pendidikan itu memiliki niatan yang baik untuk menghasilkan out put yang mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan bangsa ini. Pendidikan hakikatnya berfungsi memberikan bekal keterampilan dan kreativitas bagi para siswa. Adanya UN, dengan sendirinya akan mereduksi tujuan awal (hakikat) dari pendidikan itu sendiri.

Apalah arti sebuah nilai, walaupun sesuatu tanpa nilai pun tidak berarti. Nilai sempurna 10 (sepuluh) UN misalnya, tidaklah memberi jaminan bahwa yang bersangkutan benar-benar menguasi mata pelajaran tersebut (hal ini tidak mutlak adanya). Bisa saja ia mendapatkan nilai ini karena pada malam ujian tidak tidur, semaleman suntuk belajar dan mengahafal semua materi pelajaran. Apakah kemudian semua materi yang dia hafal malam itu akan tetap terkristal dalam fikiran, atau justru setelah ujian akan lenyap di telan masa dan karena belajar melebihi porsi menyebabkan ketidaksehatan saraf. Semuanya mungkin terjadi. Di sisi lain mungkin saja nilai itu didapat dengan penuh kecurangan, mencontek, kerja sama dan banyak cara naif lainnya. Dari sini lagi-lagi nilai itu bukanlah standar mutlak untuk mennetukan keberhasilan studi siswa. Tidak menutup kemungkinan mereka yang nilainya pas-pasan malah memiliki kredibilitas dan pemahaman yang lebih terhadap materi pelajaran dibanding mereka yang memperoleh nilai sempurna hanya karena belajar semalam atau nyontek pekerjaan kawan.

Alhamdulillah, patut kita syukuri, Ujian Nasional (UN) itu telah berakhir bagi para siswa SMA atau MA. Tinggal menunggu hasilnya. Besar harapanku semua adik-adik yang mengikuti ujian itu lulus seratus persen. Semua peserta UN bisa lulus dengan hasil memuaskan dan diterima di universitas favorit yang telah menjadi pilihannya. Amin. Sekali lagi ini adalah sebuah kontemplasi terhadap UN yang dijadikan regulasi formal (bebijakan pemerintah) sebagai penentu kelulusan siswa. Tulisan ini hanya sekadar refleksi terhadap situasi dan kondisi sekolah menjelang UN dan ketika pelaksaan UN itu sendiri. Sedikit banyak kita ketahui dan sadari bahwa UN hakikatnya justru mengajari siswa (mungkin juga pihak sekolah) untuk melakukan kecurangan sistemik terselubung secara massal alias besar-besaran. Di mana jawaban Ujian biasnya sudah didapat oleh para siswa sehari sebelum ujian berlangsung, baik melalui sms (pesan singkat) atau media lainnya. Hal ini aku kira dilatarbelakangi oleh kekhawatiran akan ketidaklulusan siswa jika tidak ditempuh cara itu. Karena tingkat kelulusan UN juga menjadi daya tawar sekolah bagi masyarakat. Sekolah yang memiliki kuantitas kelulusan yang tinggi tentu memilki daya tarik dan jual tersendiri di mata masyarakat dibanding dengan sekolah yang hanya mampu meluluskan tidak lebih dari 80 % siswanya.

Selamat jalan Ujian Nasional (UN)! Kau lah yang menjadi penentu kelulusna adik-adikku. Semoga engkau bisa berlaku bijak hingga mereka yang mengikuti UN bisa lulus seratus persen dengan nilai yang baik dan memuaskan tentunya. Dan bagi adik-adik, perjuanganmu tidak berhenti sampai di sini. UN bukanlah segalanya, UN hanyalah batu loncatan adik-adik untuk menapaki kehidupan yang lebih menantang dan menarik. Pilihlah universitas yang baik dan unggul demi masa depan kalian juga. Imam Zarkasy pernah berkata, “Perjalanan seratus kilo meter itu dimulai dengan ayunan langkah kaki yang pertama.” Maka anggaplah UN sebagai akhir masa pendidikan kalian di Madrasah Aliyah juga sebagai langkah awal untuk menata kehidupan ke depan yang lebih baik dan menjanjikan tentunya. Dan hanya kepada Allah Yang Maha Adil dan Kuasa lah kita semua berharap akan rahmat, karunia dan ridhanya. Semoga Allah SWT menunjuki jalan yang terbaik bagi kita semua hingga kita dapat memperolah kebahagian di dunia dan di akhirat kelak (as-sa’adah fi ad-darain). Amin, ya Allah ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lamu bi ash-sahwab...




Samsul Zakaria,
Kawah Candradimuka,
Pondok Pesantren Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta

(Tulisan singkat ini penulis persembahkan untuk adik-adik tercinta yang berada di Asrama [Boarding School] Madrasah Aliyah Negeri 1 Model Sukarame, Bandar lampung)

Minggu, 21 Februari 2010

Telaah Sosiologis Agama

FLEKSIBILITAS ISLAM DALAM MERESPON MASALAH KONTEMPORER



Islam adalah agama samawi (ilahi) yang diturunkan oleh Allah kepada umat Muhammad sebagai pelengkap dari agama samawi yang telah ada sebelumnya. Artinya Islam bukanlah agama yang muncul berdiri sendiri (mustaqil) di atas sendi ajaran yang tidak berkorelasi dengan agama sebelumnya yang diemban oleh rasul terdahulu, tetapi Islam berfungsi sebagai penyempurna ajaran agama sebelumnya. Sehingga tidak heran jika banyak syariat Islam yang diturunkan (diambil) dari syariat umat terdahulu (syar’u man qoblana). Hal ini karena Islam tiada lain adalah sebagai batu bata terakhir yang dipasang untuk melengkapi bangunan yang telah tersusun sebelumnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan bahwa pada saat itu (sebelum rasul wafat) islam telah sempurna dan tiada lagi agama sesudahnya.

Di sisi lain Islam itu agama yang mengandung syariat (tata hukum) yang fleksibel atau transparan dan luwes. Aturan hukumnya mampu disesuikan dengan kondisi kapan dan dimana hukum itu akan diterapkan. Sehingga tak heran jika muncul sebuah adagium, ‘Islam sholihun li kulli zaman wa makan (Islam itu sesuai dengan waktu dan tempat)’. Artinya keluwesan dari hukum Islam itu yang menjadikan Islam arif dan mudah didakwahkan kepada umat manusia. Ajaran yang terkandung di dalamnya tidak saklek yang akan menimbulkan kesan kaku dan tidak dapat beradaptasi. Tetapi justru Islam mampu menjawab tantangan dan permasalahan umat masa kini atau yang lebih kita kenal dengan masalah kontemporer.

Sumber ajaran Islam itu sendiri luas, dengan sumber utama Alquran dan al-Hadits. Alquran sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril berfungsi sebagai ktab undang-undang yang mengatur segala aspek kehidupan. Selain Alquran juga ada hadits yang selain berfungsi sebagai tafsiran dari kandungan (madlul) Alquran juga sebagai pelengkap dan sumber hukum yang tidak dijelaskan dalam Alquran. Dari dua sumber utama ini tentu tidak serta merta dapat diterapkan dalam amal perbuatan manusia. Ada metodologi (tata cara) penerapan ajaran Islam itu sendiri sehingga kita kenal Ushul Fiqh dalam kazanah keilmuan hukum Islam. Ilmu ini kemudian berfungsi sebagai dasar menentukan hukum praktis (amaliyah) yang disebut dengan Fiqh. Sedangkan Figh sendiri merupakan ilmu mengenai hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Materi Fiqh sendiri sangat luas dan banyak ragamnaya. Dari materi-materi yang universal tadi ditemukan materi yang sejenis yang kamudian dikumpulkan dalam kaidah Fiqh (qawaid fiqhiyah). Demikian lah kira-kira sekilas sistematika hukum Islam itu sendiri.

Sebagaimana kita maklumi bahwa hukum adalah sesuatu yang fleksibel, mudah berubah sesuai dengan kondisi dan terkadang tergantung pada kebijakan para pengambil keputusan (pemerintah). Hal ini karena tujuan dari syariat itu sendiri adalah demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Sehingga manakala hukum yang telah ditetapkan tidak lagi menimbulkan maslahat atau bahkan berdampak pada kerusakan (mudharat) maka bisa saja disepakati hukum baru demi terciptanya kemaslahatan tadi. Dalam islam hal ini boleh-boleh saja asalkan masih dalam koridor muamalah bukan pada inti ajaran Islam yaitu aqidah atau apa yang sudah jelas dan tetap dalam agama (al-ma’lum minad din bidh dharurah). Sehingga terdapat kaidah ushul fiqh yang menjelaskan kefleksibelitasan islam dalam masalah hukum yang berbunyi, ‘al-hukmu yataghayyaru bitaghayyuril amkinah wal azminah’, hukum itu berubah sejalan dengan perubahan situasi dan kindisi. Artinya Islam menghendaki kemaslahatan yang sebesar-besarnya terhadap umatnya dengan keluwesan hukum yang ada.

Dalam kajian hukum Islam kita mengenal qaul qodim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru) Imam Syafi’i. Qaul qodim adalah fatwa Syafi’i tatkala ia masih berada di baghdad sedangkan qoul jadid adalah fatwa baru dari Syafi’i setelah pergi dari Baghdad, di Mesir tepatnya. Ini adalah satu indikasi akan flesibelitas hukum islam, dimana Syafi’i, seorang imam madzhad memiliki dua pendapat yang berbeda terkait masalah fiqh. Apabila distingsi itu kita temukan dari dua ulama’ maka hal itu bisa kita katakan wajar namun manakala ikhtilaf itu terdapat pada satu imam, ini yang menjadi bahan renungan. Sehinggan dapat kita fahami bahwa hukum itu tidak tetap, tetapi bisa berubah dan disesuikan dengan keadaan sebagaimana yang dilakukan oleh Syafi’i. Mungkin saja andaikata Syafi’i tinggal di Indonesia akan merumuskan qaul jadid ala Indonesia. Sekarang saja Indonesia telah memiliki Kompilasi Hukam Islam (KHI) ala Indonesia yang banyak mengadopsi pendapat Syafi’i.

Mengenai fleksibelitas Islam itu sendiri nampaknya mengandung banyak hikmah bagi umat islam. Apabila Islam itu kaku maka akan banyak ditemui kesulitan untuk menerapkan hukum terhadap semua umat. Padahal umat ini berbeda beda, baik latar belakang, kondisi tempat dan waktu dan juga pemikirannya. Dalam islam sendiri kita telah mengenal, ‘ma ja’alallahu fid dini min haraj (sekali-kali Allah tidak menbuat kesusahan bagimu dalam agama)’. Kalau saja Allah sebagai syari’ (pembuat hukum) menghendaki adanya kemudahan dalam agama mengapa kita mesti menyusahkan diri dalam agama. Seorang yang mampu solat dengan berdiri, wajib baginya shalat dengan berdiri namun manakala ia mendapati kesusahan maka boleh saja shalat dengan duduk bahkan berbaring sekalipun. Seorang yang mampu berpuasa misalnya, wajib baginya untuk berpuasa namun manakala haraj (kondisi yang menyulitkan) mendapatinya maka tidaklah wajib baginya berpuasa pada waktu itu dengan catatan ia masih wajib mengganti puasanya pada hari yang lainnya atau dengan membayar fidhyah.

Hukum Islam sendiri merupakan tata aturan yang rentan dengan masalah kontemporer yang terkadang sama sekali belum ada aturan hukumnya. Hal ini karena pada waktu rasul masih hidup masalah itu tidak ditemukan sehingga untuk menentukan hukumnya diperlukan adanya ijtihad yang berlandaskan Alquran dan Hadits. Mengenai masalah ini, pemerintah Indonesia khusunya telah menbentuk badan yang berfungsi untuk menanggapi permasalahan yang bergulir di tengah kehidupan umat yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada pondok pesantern misalnya banyak kita jumpai pertemuan yang mengkaji masalah kekinian yang ada yang kita kenal dengan istilah bahtsul masail. Hal ini merupakan manifestasi daripada keluesan Islam dalam menjawab tantangan dunia modern. Sebab islam bukanlah agama yang jumud (statis) melainkan agama yang dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman dan permasalahan umat. Sehingga umat islam mampu bersaing dan hidup dengan segala kemaslahatan pada era modern ini.

Islam juga menghendaki adanya hubungan yang harmonis dengan pemerintah. Sebab pemerintah sebagai pemegang kekuasaan adalah partner agama dalam masalah syariat Islam. Misalnya saja, belakangan ini banyak beredar isu kontemporer di tengah masyarakat, kita ambil contoh yang mungkin masih hangat dibicarakan yaitu rencana rumusan Rancangan Undang-undang (RUU) yang mengatur tentang nikah siri dimana pelakunya akan dikenai pidana berupa kurungan penjara dan denda meterial. Hal ini tentu menyangkut dua dimensi, di satu sisi nikah itu adalah urusan agama terkait dengan tata cara dan hukumnya namun di sisi lain aturan pidana tentang nikah siri dengan alasan akan menimbulkan banyak mudharat adalah ranah hukum negara. Disini lah, peran islam dalam menjawab permalahan yang selalu hadir di tengah-tengah umat. Sehingga, dengan adanya keharmonisan antara agama dan pemerintah dibutuhkan kerjasama dan keterkaitan yang saling mengisi dan melengkapi antara agama dan pemerintah. Dalam masalah nikah siri tadi sebenarnya dalam syariat Islam sah adanya dan tidak memilki sanksi apapun bagi pelakunaya. Namun karena Islam meghendaki kemaslahatan maka demi terciptanya sebuah kebaikan, pidana terhadap pelaku nikah siri juga dibenarkan dan sekali lagi tidak menyalahi syariat. Dalam ushul fiqh terdapat sebuah kaidah yang berbunyi, ‘dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbul mashalih (mancegah adanya kemungkinan timbulnya mudharat itu dikedepankan dalam rangka memperoleh kemaslahatan)’.

Demikianlah kiranya penjelasan mengenai fleksibelitas Islam dalam menanggapi masalah kontemporer umat. Dimana Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) merupakan agama yang berfungsi untuk memelihara manusia dari mudharat dan menginginkan adanya kebaikan dan kemaslahatan. Sesuai dengan konsep ini maka manakala hukum islam itu tidak lagi menimbulkan kemaslahatan maka memungkinkan perumusan hukum baru yang disesuikan dengan kondisi mukallaf (orang yang terkena pembebanan hukum) dan keadaan kala itu sehingga kemaslahatan itu akan tetap terpelihara. Hal ini karena sejatinya Allah swt menginginkan adannya kemudahan dalam beragama sebagaimana firmannya yang berbunyi, “innallaha yuridu bikumul yusro (sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan bagi kalian)”. Sehingga islam mudah diterapkan dalam kondisi apapun dan dimanapun juga karena islam memiliki konsep maslahat yang tidak dimiliki oleh agama lainnya. Wallahu a’lamu bish shawab...

Semoga bermanfaat!!!


Samsul Zakaria
Mahasiswa Prodi Syariah FIAI dan Santri PonPes UII angkatan 2009

Selasa, 09 Februari 2010

Laisa Kaitslihi Syaiun (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ)

Bagaimana Anda Memahami Petikan Ayat di Atas???



لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِير' merupakan petikan ayat yang terdapat dalam surat asy-Syura' ayat ke 11. Ayat ini banyak dijadikan dalil penguat dari sifat Allah yang termasuk sifat wajib baginya yaitu mukhalafutuhu lil hawadits, berbeda dengan makhluknya. Artinya Allah itu qiyamun linafsihi, berdiri sendiri, tanpa intervensi dari siapapun, Allah itu ya Allah, tiada yang menyamainya, tiada yang setara dengan Dia. Sehingga wajar jika dalam petikan ayat tersebut Allah berfirman bahwa tidak ada sesuatupun (makhluknya) yang menyerupainya. Bahkan Allah subhanahu wa ta'ala lah yang Maha mendengar dan mengetahui segala sesuatu itu. Makhluk (ciptaan) adalah kreasi murni dari Kholik (pencipta) dan bukan merupakan bagian dari dzat kholik.

Terjemahan petikan ayat di atas sebagaimana kita temukan pada Alquran terjemah yaitu 'tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia'. Artinya segala sesuatu itu tidak ada yang sama dengan dzat Allah. Karena manakala ada indikasi bahwa sesuatu itu sama dengan Allah maka hal itu akan memasuki ranah tasybih (penyerupaan Allah dengan sesuatu yang lain). Dan menurut Asya'irah (Madzhab Asy'ari) menyerupakan tuhan dengan makhluk dapat menyebabkan seseorang menjadi 'kafir'. Oleh karenanya tatkala ada ayat yang dhahirnya mengandung makna peyerupaan tuhan dengan makhluk, ayat tersebut dipalingkan, dita'wilkan dengan pengertian yang tepat dalam rangka tanzih (membedakan Allah dengan makhluknya/menyucikan dzat Allah). Misalnya 'yadullahi fauqo aidihim', tangan Allah berada di atas tangan mereka. Sekilas ayat ini mengabarkan bahwa Allah itu memiliki tangan layaknya manusia. Namun sebenarnya kata yadun dalam ayat ini bisa dita'wilkan menjadi kekuasaan, jadi maksud ayat di atas adalah kekuasaan Allah berada di atas kekuasaan mereka (makhluk).

Apabila kita mengartikan petikan ayat Syura' ayat 11 di atas dengan tarjamah harfiyah (terjemahan perkata) akan kita dapatkan pengertian yang jauh berbeda dengan tarjamah tafsiriah. Secara harfiyah makna cuplikan ayat di atas adalah 'tidak ada yang menyamai kepada yang menyamai Allah' (Saiful Hadi, 2009). Artinya dapat kita ambil kesimpulan bahwa ada yang menyamai Allah, padahal hal ini mustahil bagi Allah. Sedikit kita bahas penerjemahan harfiyah tersebut. Kamitslihi artinya seperti sesuatu yang semisalnya, artinya dhomir hi di sana kembali kepada Allah dan ka mitsli itu sesuatu yang menyerupai Allah. Jadi sebenarnya sudah ada sesuatu yang menyamai Allah. Kemudain ada kata 'laisa' sebagai fiil naqish dan 'syaiun' sebagai isimnya yang kemudian bermakna tidak ada yang sama dengan apa yang semisal Allah. Jelas arti harfiyah seperti itu dan berdasarkan indikasi (qorinah) dari beberapa dalil yang lain hal itu mustahil dan tidak bisa diterima secara akal. Oleh karena itu petikan ayat ini tidak dipahami (diterjemahkan) serta merta menurut tarjamah harfiyyah melainkan melalui tarjamah ma'nawiyyah yang dirasa lebih tepat dan sinkron.

Dalam kitab tafsir al-Qurtuby dijelaskan beberapa pendapat terkait dengan maksud petikan ayat itu. Konon huruf 'kaf' dalam ayat itu adalah sebagai tambahan saja (zaidah) yang berfungsi sebagai taukid (penekanan). Dengan demikian dapat kita artikan 'tidak ada sesuatu yang semisalnya' menafikan arti dari huruf kaf. Ada juga yang mengatakan bahwa huruf kaf berfungsi sebagai taukid dari tashbih dari kata 'mitslihi'. Dan menurut Tsa'lab, ayat itu seolah-olah berbunyi seperti ini 'laisa ka huwa syaiun', dengan menghilangkan lafadz mitslihi, sehinga dapat ditarik kesimpulan arti yaitu 'tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia (Allah)'. Jadi kita dapat memahami ayat ini berdasarkan pentakdiran atau penafsiran tidak memahaminya berdasarkan dhahirnya saja. Dengan demikian hal ini dapat dijadikan hujjah bagi mereka yang meragukan kebenaran ayat ini. Karena memang di situlah letak kemu'jizatan Alquran, baik dari segi bahasa, susunan kata dan kandungannya.

Dalam kajian ini, Aku hanya ingin mengatakan bahwa mempelajari sesuatu itu harus dari dasarnya. Dengan demikian kita akan mendapatkan pemahaman yang syumul (menyeluruh) dan terinci. Tidak serta merta menerima doktrin dari pengertian sesuatu yang akhirnya menghalangi kita untuk menerima pendapat orang lain yang mungkin benar atau setidaknya mengandung kebenaran. Di sisi lain ini adalah sebuah keajaiban dari Bahasa Arab sebagai bahasa Alquran dan bahassa penduduk surga. Sebuah bahasa yang paling unik dan menurutku adalah bahasa yang paling sulit tapi menarik dipelajari. Karena banyak sekali kajian yang tercakup di dalamnya, kedalaman makna dan kandungan yang terkadang tidak bisa dipahami secara langsung. Subhanallah, wahai kawan sebagai generasi penerus bangsa marilah kita mengkaji dan mendalami ilmu dengan sebaik-baiknya, mencoba untuk menggali pengetahuan dari dasarnya dan sedetail mungkin. Andaikata tiada dapat kita lakukan pengetahuan yang mujmal juga tiada salahnya. Intinya, tiada kata untuk tidak belajar dan terus' mengaji' sekaligus 'mengkaji',,,

Selamat Menikmati!
Salam Karya!

Jumat, 05 Februari 2010

Mari Berfikir!!!

Antara Akal, Tampan dan Cantik
(جَمَالُ الرَّجُلِ فِى عَقْلِهِ وَ عَقْلُ الْمَرْأَةِ فِى جَمَالِهَا)


Malam Jumat, 4 Februari 2010, selepas yasinan dan doa bersama kami (santri PonPes UII) mengadakan sharing. Acara ini adalah acara mingguan yang rutin kami laksanakan. Dan tak lupa di akhir acara sekaligus penutup ada taushiah atau wejangan dari sang Pengasuh pondok, Ustadz Muhammad Roy, MA. Dalam taushiah kali ini di awal pembicaraannya beliau mengemukakan sebuah adagium berbahasa arab yang artinya ‘ketampanan lelaki itu ada pada akalnya sedangkan akal wanita ada pada kecantikannya’. Menarik bukan tidak semua santri bisa langsung memahami statemen begitu juga pembaca agaknya. Perlu mikir-mikir dikit lah sampai catch it fully. Bukankah seperti itu teman!!!

Aku sangat terhanyut dengan ungkapan itu dan akhirnya akupun terinspirasi untuk menulisnya menjadi sebuah catatan kecil yang nantinya akan didikusikan dengan rekan-rekan yang saya tag dalam catatan ini dan khususnya yang tertarik dengan apa yang saya tulis ini. Dan aku yakin teman-teman akan tertarik dan tentunya implikasi dari itu adalah munculnya kritika, saran, dukungan sabagai komentar konstruktif dari catatan ini. Semoga saja!

Sebelum Aku menulis idea ku menjadi sebuah artikel seperti itu, Aku posting dulu main idea atau adagium di atas di wall FB ku dan ternyata tak sedikit yang mau berkomentar. Dan Akupun dengan senang hati menanggapi komentar teman-teman. Pertama, Aku mengucapkan permohonan ma’af yang sebesar-besarnya khusunya kepada Akhwat yang mungkin merasa terpojokkan bahkan tersinggung dengan tulisan ini. Tak ada niat apa-apa kecuali Aku ingin mengundang teman-teman untuk berdikusi dalam forum ini. Aku pribadi sebagai seorang lelaki sangat menghargai kaum hawa, tak ingin Aku menyakitinya dan andai boleh Aku katakan, Aku ingin melindungi mereka wa bil khusus someone ... he he.. Jadi harap maklum, hitung-hitung menstimulus teman-teman untuk berfikir dan menambah wawasan dan pengetahuan saja. Oke,,,

Berikut sedikit cuplikan dari diskusiku dengan adik kelas dan sahabatku. Sebut saja Eka, ia adalah salah satu adik kelasku di MAN 1 Model Bandar Lampung yang ketika itu tak jarang beliau berdiskusi denganku mengenai masalah nahwu ya mas law ndak salah. Beliau berkomentar atas postinganku di FB itu seperti ini, “Ane la uwafiq aidhon (saya tidak setuju juga) karena kecantikan wanita itu tsabit (tetap) khi... Kalo qita mengukur akal wanita hendaknya dari sikap...” begitu ungkapnya.

Menanggapi komentar itu Aku pun berdalih seperti ini, “Eka: Ini adalah sebuah adagium yang muncul dari pengalaman dan penelitian kelompok tertentu. Bisa benar bisa juga mengandung kesalahan. Tapi sejauh pengamatanku, itu benar adanya dan mayoritasnya seperti itu. Maaf, seorang lelaki yang tidak tampan tapi dia punya skill dan aura yang mampu menggoda wanita, maka ketahuilah akan tampak kejantanannya dan dengan sendirinya menurut (persepsi) wanita ia adalah seorang yang tampan. Sedangkan wanita tanpa kecantikan sebagian orang tak menghargainya dengan apa-apa. Coba kalau dia cantik menawan orang akan memandangnya sebagai wanita yang cerdas, sekilas tapi. Nahnu nahkumu bidh dhowahir, bukan seperti itu kawan! “ jawabku.

Tak lama dati itu nongol komentar dari sahabatku yang sering daku kagumi pemikiran kritisnya, sebut saja Mas Bukhory. Beliau berkomentar seperti ini, “Eka, kecantikan wanita gak tsabit lho.. kecantikan wanita bisa pudar karena umur.. he dan untuk akh Samsul, ane (saya) juga tidak sepakat dengan adagium ini karena tidak ada sangkut pautnya kecantikan dengan akal khi.. walawpun menurut sebagian orang mungkin hal tersebut benar adanya..seperti tulisan antum yang mengatkan kita bisa melihat wanita cantik itu cerdas namun ini hanya pandangan yang sekilas, dan jka kita mengamati lebih jauh lagi mungkin pandangan kita ini meleset. Ini artinya kecantikan tidak bisa menjadi tolak ukur akal ataupun kecerdasan.” paparnya.

Wah agaknya banyak yang komplin dengan adagium itu. Dan akupun lagi-lagi berdalih seperti ini untuk mengklarifikasi, “Mas, dalam konsep ini Aku tertarik untuk menggunakan kaidah ini نَحْنُ نَحْكُمُ بِالظَّوَاهِرِ yang artinya kita menghukumi (menilai) sesuatu sesuai dengan yang tampak. Sekarang sebagai lelaki normal apa yang ada dalam benak kita saat melihat wanita cantik? tentu yang baik-baik kan yang ada, pintar dan penyayang. Walaupun sebenarnya dia tidak cerdas akalnya, dia sudah punya kecerdasan pada wajahnya. Ingat bahwa wanita adalah potret (tajally) diri tuhan yang paling sempuna (Muhammad Roy, 2009).

Ya, begitulah sedikit perbincangan kami mengenai masalah ini. Dan Aku yakin besok akan muncul lebih banyak komentar lagi, entah yang mendukung, komplain, atau sekadar mengeluarkan pendapat. I hope like that,,,


Met Membaca dan Menelaah!!!

Kamis, 04 Februari 2010

Kajian Spiritual

Keadilan Tuhan Digugat???


Hari ini, 3 Februari 2010, ada seorang teman (in Facebook) mas Imtihan namanya mengomentari note ku yang sudah lama Aku postkan yang berjudul al-Itsar fil Islam(Altruisme dalam Islam). Banyak hal hal kami diskusikan dari catatan itu sampai akhirnya berujung pada sebuah pertanyaan yang cukup menguras pikiran untuk menjawabnya. Dia menanyakan atau dengan bahasa yang lebih ekstrim menggugat keadilan tuhan. "Allah menciptakan manusia ada yang sempurna dan ada yang cacat, lalu dimanakah letak keadilan tuhan dengan lahirnya seorang bayi yang cacat itu. Bukankah semua manusia yang lahir ke dunia ini punya hak yang sama, tidakkah tuhan itu maha adil, dalam masalah ini maka dimanakah letak keadilan tuhan?" begitulah kira-kira alur pikirannya yang terjewantahkan dalam pertanyaan sederhana.

Menanggapi masalah ini Aku pun jadi ingat mengenai kebesaran tuhan melalui keadilannya yang pernah dijelaskan oleh guru Bahasa Arabku saat Aku masih kelas satu Aliyah. Penjelasan itu sedikit banyak Aku gunakan untuk merespon pertanyaan Mass Imtihan Abdillah. "Mas Imtihan: Ya ya, memang perlu kita pikirkan. Tapi itulah namanya keadilan tuhan. Bukankah Allah menciptakan sesuatu itu berpasang-pasangan, ada yang sempurna dan ada yang tidak sempurna (cacat) dan lain sebagainya. Dan semua adalah ujian mas, yang sempurna diuji bagaimana ia menyukuri dan menggunakan kesempurnaanya itu untuk kebaikan, yang cacat diuji dengan kesabaran dan kekuatan mental menjalani kehidupan. Dan Aku tetap berpegang teguh ma pendirian itu dengan analisa yang cukup gamblang. Satu contoh, kita punya lima ayam, satu ayam kita sembelih untuk syukuran, satu lagi kita potong untuk makan bersama, satu lagi kita jual untuk membayar hutang, satu lagi kita kurung untuk pajangan karena modelnya yang indah, dan satu lagi kita biarkan keluyuran mencari makan. Dari statemen tadi apakah kita sebagai pemilik ayam dikatakan dholim/tidak adil karena memperlakukan ayam dengan cara yang berbeda. Bukankah kita punya alasan terhadap tiap tindakan kita terhadap masing-masing ayam. Adakah tuntukan hukum yang akan menjerat kita. Ataukah kita akan disebut sebagai orang yang tercela. Tentu tidak, begitulah kira-kira tuhan, memperlakuakn hambanya sesuai dengan proporsi dan kebutuhan. Insya Allah.." jawabku panjang lebar.

Dapat kita fahami bahwa pada hakikatnya tuhan itu memang 'Adil dan maha adil terhadap hambanya. Tidak pernah mendholimi mereka sediktpun. Satu kasus, dalam penciptaan manusia, ada seorang bayi yang lahir dari seorang non-muslim, karena aqidah orang tuanya seperti itu (kafir) maka sampai ia besar dan dewasa juga mengikuti aqidah orang tuanya. Dalam konteks ini sang anak tidak punya kesempatan untuk menerima dakwah/ajakan untuk masuk Islam. Lalu dimanakah letak keadilan tuhan?. Lagi-lagi tuhan masih adil koq kawan. bukankah saat awal penciptaan manusia Allah bertanya pada mereka, "Bukankah aku ini tuhan kalian?" tanya Allah. Mereka (manusia) menjawab, "Bala (ya betul, Engkau tuhanku).". Jadi tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah. Sebab, andaikata saat pertanyaan terhadap kesaksian terhadap eksistensi tuhan sebagai Robb dilontarkan kepada kita dan kita menjawab Na'am yang berati' Allah bukan tuhan Kita' maka Allah pasti tidak menurunkan kita ke dunia yang penuh tipu daya ini.

Jadi, sebagai seorang muslim, kita sebaiknya yakin dan optimis terhadap keadilan tuhan. Kiat boleh kritis terhadap keadilan tuhan namun jangan sampai mengoyahkan keimanan kita kepada-Nya. Kita boleh menggugat untuk melatih kecermatan berfikir namun dengan jalan yang tepat dan bijak hingga kita dapat menemukan sebuah jawaban yang memuaskan. Dan yang perlu ditekankan bahwa Allah sebenarnya pemilik segala sesuatu, pemilik hak prerogatif dalam perbuatannya dan itu tidak menodai keadilan tuhan. Ibarat perlakuan kita terhadap ayam-ayam yang Aku contohkan di atas, sekilas terkesan deskriminatif. Namun setelah kita telaah, tidak seperti itu, justru itu bentuk dari keadilan tuhan itu sendiri. Allah memperlakukan makhluk sesuai dengan proporsinya serta tidak membebani mereka kecuali pada batas kemampuannya.
Wallahu a'lamu bis-showab ...

Met Membaca!
Salam Karya!

Selasa, 02 Februari 2010

Telaah Sosiologis

Universitas Kehidupan (UK) yang Lebih Berperan Menentukan Kesuksesan


Sebenarnya sudah lama Aku ingin menuliskan ideaku mengenai hipotesis ini. Dan alhamdulillah sekarang terelisasi juga. Suatu waktu, Aku dan teman-teman menerima materi public speaking di Pondok yang diampu oleh Pak Imam Mudjiono. Di akhir pembicaraannya, beliau sempat berpesan dengan mengatakan kata bijak yaitu, "ketahuilah bahwa sesungguhnya Anda sedang menimba ilmu di 2 universitas, pertama di kampus yang sekarang Anda tempuh dan di Universitas Kehidupan." ungkapnya. Aku jadi tertarik dengan pernyataan itu, baru kali pertama Aku mendengar istilah Universitas Kehidupan. "Universitas Kehidupan lah yang sebenarnya lebih berperan dalam menentukan karir anda ke depan." lanjutnya.

Menarik sekalli bukan. Awalnya Aku sedikit bertanya tanya, apakah betul stetemen itu. Mungkinkah Universitas Kehidupan yang tak jelas statusnya itu mampu berbuat banyak demi suksesnya seorang mahasisiwa. Pertanyaan itu lah yan terus membayangiku setelah selesai kuliah malam itu. Dan akhirnya sedikit demi sedikit dapat Aku pahami bahwa benar adanya bahwa Uniiversitas Kehidupan banyak take a part dalam menentukan masa depanku. Bagaimana tidak Kawan! (meminjam istilah Mas Yasser), berapa persenkah pengetahuan yang kita dapatkan dari kampus dibandingkan dengan apa yang kita peroleh dari Universitas Kehidupan. Di universitas kehidupan kita mendapatkan apa yang belum dan atau tidak kita dapatkan di Kampus. Bahkan apa yang kita dapatkan di Kampus juga kita dapatkan di UK atau justru prosentasinya lebih rendah.

Universitas Kehidupan adalah sebuah universitas yang terus kita tempati, kamanapun kita pergi, sampai manapun kita melangkah dan berjalan, tiada dapat kita meninggalkannya. Atau dengan kata lain UK selalu menemani kita. Kita akan selalu mendapatkan pelajaran dari kisah perjalanan yang kita lewati. Kita akan selalu dapat mengambil hikmah dari kejadian yang kita alami. Kita akan selalu dapat mengambil pesan moral dan spiritual dari setiap masalah yang kita hadapi. Dan perlu kita ketahui bahwa kita tidak akan pernah lepas dari semua itu. Pelajaran, hikmah, nasihat, pesan moral dan spiritual yang kita dapatkan akan menjadi acuan dalam mengambil tindakan selanjutnya. Dan nantinya akan menjadikan kita bijak dalam segala hal. Sehingga kita Begitulah kira-kira Aktivitas di Universitas Kehidupan.

Dalam bergaul misalnya, kita dituntut untuk saling memahami, saling menyadari kekurangan dan menghargai perbedaan. Bagaimana kita harus bersikap dan berpelilaku akan kita dapatkan dalam materi kuliah Pergaulan. Dalam diskusi yang tak jarang kita lakukan dengan teman sekamar, dengan teman se-kampus di luar Universitas, mengajari kita bagaimana kita bisa menghargai pendapat orang lain, mendidik mental kita saat pendapat kita jauh dari kebenaran dan melatih kedewasan kita untuk bisa menerima argumen kawan dengan lapang dada jika ternyata benar adanya. Jadi kedewasaan akan kita dapatkan dalam materi kuliah yang dinamakan Diskusi antar kawan. Dan begitulah seterusnya. Jadi dapat kita simpulkan bahwa UK memang banyak ambil bagian dalam membentuk kepribadian insan, khususnya mahasiswa.

Dah dulu ya, law ada yan perlu didiskusikan, saya persilahkan untuk komen-komen. Aku mau maen bola dulu. Salam manis dariku! Bye bye, Met mambaca!

Senin, 01 Februari 2010

حقيقة الجهاد

HAKIKAT JIHAD: BERJUANG MELAWAN KETERPURUKAN


لاَّ يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُـلاًّ وَعَدَ اللّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْراً عَظِيما. (أالنساء: 95
)

“Tidaklah sama antara orang yang beriman yang duduk (yang tidak turut berperang) tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut perang tanpa halangan). Kepada masing-masing Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar”. (QS. an-Nisa’ [4]: 95)

Belakangan ini nampaknya ajakan (seruan/da’wah) untuk berjihad di jalan Allah sangat gempar dan marak sekali. Hal ini seiring dengan maraknya kasus penistaan islam oleh non-muslim dan kasus kriminalitas plus kemaksiatan yang tiada hentinya. Ada kelompok yang memang menyerukan itu (da’wah) dengan tujuan yang murni demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini. Di sisi lain ajakan ini tidak lebih hanya karena kepentingan politik yang hampa akan ruh agama di dalamnya. Atau adanya pemahaman yang sempit (ekstrim) terhadap konsep jihad yang diajarkan oleh Islam itu sendirinya. Sehingga wajar jika kemudian jika bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok tertentu dinilai sebagai tindakan yang menodai agama (melanggar HAM) dan menimbulkan kontroversi yang hangat dibicarakan. Padahal mereka melakukan itu dengan niat berjihad demi tegaknya kalimatullah (agama Allah), berjuang demi memberantas kemaksiatan yang ada di muka bumi. Lalu kenapa tindakan mereka yang seolah baik ini dikecam oleh banyak kalangan bahkan oleh intern umat Islam. Ada apa dengan tindakan itu, adakah yang salah dengan konsep jihad yang mereka pahami dan adakah konsep jihad yang lebih tepat dan sesuai (shalih) dengan kondisi zaman yang kita hadapi saat ini?

Islam adalah agama yang cinta damai, rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Ajaran yang terkandung di dalamnya sesuai dengan fitrah manusia, mengajarkan kebaikan (tolong menolong) dan menolak adanya kekerasan dan permusuhan. Bahkan dengan orang-orang kafir (non-muslim) sekalipun, Islam menerapkan adanya toleransi beragama yang menghendaki adanya keselarasan dan keterkaitan dalam masalah muamalah selama dalam batasan-batasan tertentu yang tidak berkaitan dengan teologi (aqidah). Disinilah letak keterbukaan Islam yang kemudian menarik simpati orang lain (non-Muslim) untuk mempelajari ajaran-ajarannya, bahkan tak sedikit dari mereka yang kemudian memeluk agama Islam dan berjuang demi agama (Islam) yang telah dipeluknya. Hal ini karena ajaran Islam adalah agam samawi yang bersumber dari wahyu ilahi yang memiliki kebenaran mutlak. Dengan konsep ini maka suatu saat manusia pasti akan kembali pada agama yang lurus (hanif). Jadi dengan konsep toleransi beragama yang diajarkan Islam, dengan sendirinya, bak mengalirnya air, akan mempengaruhi orang lain untuk simpati dengan Islam. Bukan dengan memerangi mereka dengan serta mereka tanpa sebab yang mewajibkan adanya perang itu.

Hakikat Jihad Kontekstual
Kata jihad berasal dari kata jahada – yujahidu – mujahadatan – wa jihadan yang berati perjuangan (berjuang). Dalam Alquran kata jihad terdapat dalam 3 ayat yaitu, al-Hajj: 78, al-Furqan: 52 dan al-Mumtahanah: 1. Dalam ayat-ayat di atas terdapat perintah Allah untuk berjihad dengan sebenarnya jihad dengan harta, lisan dan jiwa. Hal itu karena manusia adalah makhluk yang telah disucikan oleh Allah dengan keutamaan dibanding umat lainnya. Begitu juga terdapat perintah untuk berjihad dengan jihad yang besar dengan tujuan untuk mencari keridhoan Allah semata, tidak karena niat lainnya. Demikianlah kira-kira pengertian jihad jika kita pahami ayat-ayat yang nberkenaan dengan jihad. Tetapi kalau kita telaah secara keseluruhan, pengertian jihad menurut Alquran tidak terbatas pada masalah perang (qital) namun lebih dari itu adalah jihad dalam semua aspek kehidupan.

Menanggapi masalah di atas dan berangkat dari pengertian jihad menurut Alquran, sudah saatnya kita membangun sebuah konsep (paradigma) jihad kontekstual yang sesuai diterapkan pada masa ini. Sehingga jihad tidak lagi difahami secara sempit sebagai bentuk pengorbanan dengan rela mati asal dalam keadaan jihad. Karena pemahaman seperti ini justru tidak sesuai dengan ajaran luhur Islam. Bukan kah tidak ada paksaan (ikroh) dalam beragama, semua manusia bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya selama tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Bukan kah Islam menghendaki adanya hubungan yang saling menguntungkan antara sesama manusia tanpa memandang suku, ras dan agama. Dengan demikian maka kebaikan sosial akan tercermin dalam kehidupan masyarakat.

Berjuang dengan sekuat tenaga untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, kemaksiatan bukankah ini juga disebut jihad? Bukankah berusaha dengan penuh kesungguhan untuk memerangi kasus korupsi yang sekarang marak terjadi baik di kalangan pejabat, pengusaha, pekerja, bahkan rakyat biasa adalah jihad? Tidakkah mengerahkan segenap tenaga, memaksimalkan potensi dan kemampuan untuk menuntut ilmu, belajar dan mengajar demi melawan kobodohan adalah juga jihad? Maka jawabannya adalah iya, karena memang perjuangan seperti itu yang serasa begitu diperlukan pada saat ini. Dan sebenarnya cara seperti ini yang tepat diterapkan dalam abad ini. Sehinggan jihad tidak lagi dipandang sebagai jalan menuju surga yang ditempuh oleh individu tertentu tetapi menjadi sebuah cara yang bijak dan tepat untuk berjamaah meraih ridho ilahi dan tentunya bersama-sama menuju surga Allah. Mengenai masalah jihad Jamal al-Banna, adik bungsu Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin berkomentar dalam bukunya yang berjudul ‘al- Jihad’ sebagai berikut:

إِنَّ الْجِهَادُ فِى الْعَصْرِ الْحَاضِرِ لَيْسَ هُوَ أَنْ نَمُوْتَ فِى سَبِيْلِ اللهِ وَ لَكِنْ أَنْ نَحْيَ فِى سَبِيْل اللهِ.

Artinya: ”Jihad kontekstual adalah bukan mati di jalan Allah namun bagaimana kita hidup di jalan Allah” (Gamal al-Banna)

Sesuai dengan pernyataan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa hakikat jihad pada masa ini adalah bukan mati di jalan Allah melainkan bagaimana kita bisa hidup istiqomah di jalan Allah. Jihad bukan berarti teror yang kemudian disusul dengan bom bunuh diri dengan motif jihad dan mati syahid. Namun Jihad adalah bagaimana kita mengupayakan kemampuan kita semaksimal mungkin untuk menata hidup agar selalu berada pada tali agama Allah SWT, mampu memberikan manfaat kepada orang lain melalui kesungguhan yang kita lakukan. Jihad adalah suatu jalan untuk berjuang melawan kemiskinan, kebodohan, dekademsi moral dan segala bentuk kemaksiatan. Dan perlu digaris bawahi untuk mewujudkan itu semua tidak mesti dengan kekerasan yang akan mengakibatkan konflik yang berkepanjangan. Bukankah Islam mengajarkan hikmah (da’wah dengan jalan yang bijak), memberikan nasehat yang baik serta berdiskusi dengan cara yang baik pula dalam hidup ini untuk mengajak kepada kebaikan. Sehingg, jika konsep seperti ini yang dipegang teguh maka Jihad akan menjadi wahana untuk menciptakan kesalihan sosial dan keselamatan bersama.

Jihad pada masa ini sebaiknya lebih diorientasikan pada perang terhadap krisis moral bangsa. Perjuangan lebih diutamakan terhadap perbaikan mental bangsa yang selama ini melempen dan tak nampak taringnya. Dan yang paling urgen sepertinya adalah masalah korupsi yang rasanya kian hari semakin bertambah bnyak kasusnya. Korupsi sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh kalangan elit yang memiliki kesempatan, korupsi sebenarnya tidak selalu berhubungan dengan fulus (uang) tetapi lebih dalam dari itu adalah korupsi waktu, pemberian jasa, penghargaan dan lain-lain. Hal ini adalah penyebab keterpurukan dan ketertinggalan bangsa ini di mata dunia serta semakin merusak citra bangsa.

Epilog
Jihad sebagaimana kita fahami dari uraian di atas tidak terbatas pada perjuangan membela agama dengan berperang yang berimplikasi pada terbunuhnya pihak lawan (al-harb wal qital). Namun lebih jauh dari itu makna jihad adalah sebuah usaha yang keras untuk melakukan perbaikan dalam hidup ini. Memerangi kebodohan, memberantas kemiskinan, menetralisir kasus-kasus kriminal, mencegah terjadinya korupsi dan lain-lain adalah merupakan jihad juga. Karena dalam kesungguhan itu terdapat spirit jihad yang ada dalam Islam. Dengan seperti itu justru jihad akan bernilai sosial yang akan berdampak pada kebaikan umat dan kenyamanan hidup.

Oleh karena itu marilah kita kerahkan segala kemampuan diri kita untuk berjuang melawan kemalasan dan kemaksiatan yang selama ini kita lakukan. Kalau kita rajin dalam hidup ini maka banyak hal yang dapat kita lakukan dan banyak manfaat yang dapat kita sumbangkan untuk Islam. Semoga niat baik yang kita ikrarkan akan diridhoi oleh Allah dan kita berharap agar kita selalu diberikan kekuatan untuk tetap istiqomah berjuang dalam Islam demi tegaknya kalimatullah. Sebab, istiqomah dalam kebaikan (jihad) itu lebih baik daripada seribu kemulian sekalipun (al-istiqomah khairun min alfi karomah). Ya muqollibal qulub, tsabbit qulubana ‘ala dinika wa ‘ala tho’atika, amin ya Allah ya Robbal ‘alamin...
Wallahu a’lamu bis shawab ...


Samsul Zakaria,
Mahasiswa Prodi Syariah dan Santri PonPes UII angkatan 2009

Minggu Malam yang Menegangkan (Mas Tofa was The Trouble Maker)

Ketika Aku Dikerjain


Saat itu malam Senin, setelah solat Isya Aku dan temen-temen berencana pergi ke pameran di Sekaten, Alun-Alun. Pas Aku mau berangkat, tiba-tiba handphone ku berdering. Tak ku sangka, someone yang suaranya sedikit lantang tiba-tiba menerorku. "Kamu Samsul ya, siapanya DIA? Awas jangan ganggu DIA lagi ya!" ucapnya dengan nada sedikit meninggi. Akupun sentak jadi kaget, ada apa ini, adakah Aku telah berbuat kesalahan yang fatal hingga ada orang yang menerorku. Coz, as far, I think hubunganku dengan DIA baik-baik aja dan gak pernah ada someone yang resek palagi pakek neror-neor segala, kurang kerjaan! (maf Mas!).

Karena Aku mau buru-buru pergi dan males ngurusin gituan, tak matiin aja sambungan telponnya, biar masalah selesai. Aku pun kirim sms ke someone tadi, "Aku gak punya banyak waktu tuk ngurusin gituan." ucapku dalam sms itu. Ternyata dia gak terima dan mencoba untuk menghubungiku for the second time. Karena ada rasa takut juga, he.. be berapa kali Aku paksakan untuk tidak ngangkat telepon itu alias Aku reject sembari Aku kirim sms 'li marroh tsaniyyah' untuk menanyakan siapa sebenarnya dia dan apa maksudnya dengan mengatakan itu. Ia pun terus mencoba to call me dan kirim sms, "Alah pengecut! law kamu memang laki-laki angkat telponnya!" demikian cacinya dalam sms yan ia kirim. Dalam hatiku terbesit perasaan, "Wah, emangnya gua perempuan apa, sok kali bilang gitu, awas lho!"

Akhirnya Aku pun mengangkat panggilannya, "Ada apa sebenarnya, apa maksud Kamu, kamu siapnya DIA?" tanyaku. Ia pun mengatakan bahwa Ia adalah Mas nya DIA dan memintaku agar tidak mengganggu DIA lagi. Wah, tambah aneh aja pikirku, siapa sebenarnya ia, apa maunya. Selama ini Aku tidak pernah merasa mengganggu DIA dan DIA pun setahuku tidak pernah merasa terganggu. Someone itu pun tetap ngotot agar Aku tidak lagi mengganggu DIA, alasannya dia masih belajar dan butuh konsentrasi. Aneh, gak logis kali hujjahku!!! Aku saja menghubungi DIA kalaw pas pulang dan itupun law DIA smsku dulu. Tambah gundah saja batinku. Memang malam yang menegangkan sekaligus meyebalkan! heh!

Someone tadi menanyakan ke Aku, sebenarnya Aku ini siapanya DIA. Aku jawab saja law sebenarnya Aku punya hubungan dekat (dalam tanda kutip) ma DIA. Someone itu malah bilang ngajak ketemuan tuk bahas masakah ini. Ia menanyakan kapan Aku pulang. "Aku mah santai aja, pulang ke Lampung liburan semester 2 nanti" jawabnya dengan nada sedikit ngengkeng. Dia masih saja tidak terima dam lagi-lagi memaksaku untuk tidak menggnggu DIA lagi. Heh, kesal sekali Aku, ingin rasanya ketemu ma orang itu dan selesaikan masalah secara jantan. Ia bilang law DIA sering Online dari kampusnya, jad ia kira Aku sering ganggu DIA saat DIA online. Aku jawab saja bahwa yang buka FB DIA saat ini adalah Aku dan Aku sering komen-komen lewat Wall nya. Ketika itu juga ia ketawa terbahak-bahak dan bilang, "Kamu ketahuan, ternyata selama ini kamu yang coba mengintrogasiku, he he..".

Astagfitullah, ternyata ia adalah masku. Bajigur!!!!. Memang selama ini Kami sering olok-olokkan masalah cewek. Dia iseng ngerjain Aku karena sebelumnya Aku kirim sms yang sedikit menyinggung perasaannya kali, (May be lho Mas?). Agaknya dia Take revenge nich ma Aku. Mas, Mas, ulahmu sempat membuat jantungku nyaris cocot. Aku sangka sampean laki-laki yang dulu pernah jadi kekasihmya. Aku kira sampean teroris setelah Nordin M Top, yang tidak lagi kau kafir sasarannya tapi para pencari cinta mangsanya. Heh, dasar!


Met membaca!

Minggu, 31 Januari 2010

HAKIKAT DOA ADALAH SYUKUR


قَالَ الَّذِي عِندَهُ عِلْمٌ مِّنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرّاً عِندَهُ قَالَ هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ (النمل: 40)

“Seorang yang mempunyai ilmudari Kitab berkata, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka ketika itu (Sulaiman) melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhan-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barangsiapa bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan baransiapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhan-ku Maha Kaya, Maha Mulia.” (an-Naml [27]: 40)


Doa adalah salah satu bentuk tawakkal seorang mukmin terhadap Allah SWT setelah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Dengan doa manusia bisa meminta apapun yang menjadi keinginannya dan sebagai rasa rendah diri dan butuh akan rahmat dan pertolongan tuhannya. Setelah berusaha manusia menyerahkan hasil dari usahanya itu kepada Allah SWT dan tentu manusia akan selalu berharap Allah memberikan yang terbaik sebagai buah dari usahanya itu. Dan di sinilah sebenarnya letak keagungan Allah, memberikan kesempatan manusia untuk berusaha mendapatkan sesuatu dan Dia berjanji mengabulkan doa yang manusia panjatkan setelah berusaha. Dengan demikian manusia pada prinsipnya tetap diperintahkan berusaha mengejar impiannya namun di balik semua itu juga diwajibkan menyerahkan hasil ikhtiarnya kepada Allah swt.

Doa adalah suatu permohonan yang memiliki nilai spiritual tinggi. Permohonan yang merupakan bentuk permintaan tulus dari seorang hamba kepada tuhannya. Berkat doa yang kita panjatkan, atas izin Allah akan bisa mengubah segalanya, mampu memberikan manusia apa yang menjadi keingginannya. Tentu doa yang sarat ruh yang meyebabkan doa itu memiliki probabilitas tinggi untuk dikabulkan. Terlebih jika doa itu dipanjatkan oleh seorang yang jauh dari maksiat, selalu taat akan perintah tuhan dan merasa dekat dan mengharapkan cintanya. Ibarat melempar sesuatu yang ada di seberang, semakin dekat maka semakin besar pula kemungkinan mengena tepat sasaran. Sama halnya doa yang kita panjatkan tidak jauh dari amal perbuatan kita sehari-hari, kalau bagus maka akan bagus juga responsnya. Begitu juga dengan persanggkaan hamba terhadap tuhannya, jika ia panjatkan doa dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan mengabulkannya maka Insya Allah doa itu pun akan terkabulkan dan juga sebaliknya.

Hakikat Doa
Hakikat sebuah doa tidak lain adalah rasa syukur hamba terhadap karunia tuhannya. Dengan selalu menyukuri karunia tuhan secara tidak langsung manusia menginginkan yang lebih dari itu tanpa harus mengatakannya. Melalui doa yang kita panjatkan kepada-Nya memiliki menyimpan permintaan kita agar diberikan berkah dari apa yang telah kita miliki sebelumnya. Hal itu karena Allah SWT maha tahu akan kebutuhan dan keinginan hambanya. Hal ini tentu harus dibarengi dengan rasa syukur yang sebenarnya, bukan hanya sekadar ucapan lisan tanpa ada realisasi nyata dari ucapan itu. Karena hal itu tidak akan bernilai apa-apa di mata Allah Subhanahu wata’ala. Namun yang dimaksud dengan rasa syukur di sini berarti mengunakan semua karunia tuhan untuk berbuat baik dan merasa cukup dengan karunia itu. Sehingga semua yang diberikan tuhan kepada manusia dijadikan sebagai ladang untuk berbuat baik dan selalu berbuat baik.

Salah satu adab dalam berdoa yaitu membaca tahmid yang tujuannya adalah untuk memuji Allah dan sebagai rasa syukur atas semua nikmat yang diberikan. Kemudian dilanjutkan oleh lantunan solawat yang dimaksudkan sebagai bentuk rasa cinta kita kepada baginda rosulullah, Muhammad SAW sebagai tauladan baik manusia dan rasa terima kasih atas segala jasanya terhadap umat Islam. Dari aturan (adab) ini sesungguhnya kita memahami bahwa ketika seseorang itu menginginkan sesuatu, meminta tambahan dari apa yang telah ia dapatkan, terlebih dahulu harus berterima kasih kepada dzat yang telah memberikan nikmat itu. Jadi sebenarnya dalam segala segi kita dididik untuk selalu menyukuri nikmat tuhan bahkan dalam doa sekalipun. Itu artinya syukur marupakan sesuatu yang urgen dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Barangsiapa memperoleh kenikmatan wajib baginya untuk berterima kasih pada pemberinya. Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita ambil ibarat, andaikata ada seorang yang memberikan kita sesuatu dan kita terima sesuatu itu dengan wajah yang ceria lalu kita ucapkan terima kasih kepadanya, apa yang akan terjadi? Sang pemberi akan merasa sangat bahagia karena merasa bahwa apa yang ia berikan bermanfaat dan diterima dengan baik. Dan lebih dari itu pemberi pun tentu akan tergerak dan termotifasi untuk memberikan sesuatu untuk yang kedua kalinya.

Manfaat dari Syukur
Manfaat dari rasa syukur adalah akan kembali kepada kita tidak yang lainnya. Sebagaimana penggalan ayat di atas, “wa man syakara fainnama yasykuru ‘ala nafsihi”, yaita manfaat dari syukur akan diperoleh oleh orang yang bersyukur itu sendiri. Bahkan dengan menyukurinya kita akan mendapat kesempurnaan nikmat dan langgengnya nikmat itu dalam diri kita karena syukur berfungsi sebagai pengikat nikmat. Dan lebih dari itu kita akan memperoleh berkah (tambahan) nikmat serta memperoleh nikmat yang sebelumnya belum kita rasakan dari Allah swt. (al-Qurthuby dalam tafsirnya). Sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mensyukuri nikmat Allah karena sesunggauhnya di balik syukur itu tersirat panjatan doa pada sang maha kuasa agar nikmat itu terus kita rasakan. Bahkan kalau sampai kita tidak menyukuri nikmat yang kita peroleh kita tergolong orang yang kufur nikmat dan Allah menjanjikan siksa yang pedih. Na’udzubillahi min dzalik ...

Sebagaiman doa yang selalu dipanjatkan oleh nabi Sulaiman sebagai bentuk rasa syukur atas segala karunia tuhan agar ia selalu diberikan ilham untuk selalu menyukurinya, untuk beramal sholih dan dimasukkan ke dalam golongan hamba yang sholih (QS. an-Naml [27]: 19). Dalam doanya nabi Sulaiman menyatakan kerendahannya di hadapan tuhan, semua nikmat yang ia peroleh tiada lain adalah penberian dari Allah dan Dia lah dzat yang paling berhak menjaga dan atau mencabutnya. Dan dari situ kita dapat mengambil tauladan dari seorang nabi dan dijadikan sebagai motifasi untuk terus menyukuri nikmat tuhan (Allah swt). Kita gunakan kesempatan yang ada untuk berbuat baik, kita manfaatkan sisa umur untuk berlomba-lomba melakukan kebajikan, kita maksimalkan harta yang kita miliki untuk membantu kaum fakir lagi membutuhkan sebagai wujud terima kasih dan syukur kita atas karunia tuhan. Kerena sesungguhnya apapun yang kita nafkahkan (untuk kebaikan) di jalan Allah, maka Dia lah yang akan menggantinya karena Allah adalah sebaik-baik pemberi rizki yang maha adil. Secara materi mungkin harta (nikmat) itu berkurang namun dibalik itu kita telah memiliki keuntungan yang luar biasa. Yaitu simpanan pahala (bekal/zad) di akhirat dan boleh jadi Allah menggantinya dengan rizki yang lebih banyak (halal dan baik) dari arah yang tiada disangka-sangka (min haitsu la yahtasib). Subhanallahil’adzim wa bihamdihi...

Rasa syukur kita terhadap nikmat Allah akan menjadi efektif jika kemudian menjadi sebuah kebajikan sosial. Semua yang dimiliki dimaksimalkan untuk berbuat kebaikan kepada sesama dengan didasari semangat kebersamaan dan kesadaraan. Semua potensi yang kita miliki kita gali dan digunakan sepenuhnya untuk memberikan manfaat kepada yang lain. Tentu ini adalah sebuah sikap yang arif yang tidak hanya mendatangkan kebahagian pribadi melainkan juga kemaslahatan sosial. Sehingga muncul sebuah ungkapan, ‘the greatest haapiness for the greatest number’, kebahagain yang besar untuk masyarakat yang besar pula. Dengan demikian jika semua individu mampu menerapkan budaya syukur dalam hidupnya maka iklim bermasyarakat yang aman dan nyaman akan kita rasakan. Mereka yang memiliki harta berlimpah ditasarufkan (digunakan) untuk kepentingan orang banyak. Mereka yang memiliki tanah yang lebar diwakafkan untuk kepentingan sosial misalnya mendirikan madrasah, TPA atau yang lainnya. Intinya, semua dimaksudkan untuk sebuah misi yang baik, selain sebagai wujud rasa syukur juga demi syiarnya agama di tengah masyarakat yang variatif. Sehingga esensi dari nilai luhur agama Islam sebagai rohmatan lil’alamin akan betul-betul terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Dan hal ini yang nantinya akan menghantakan bangsa Indonesia menuju kejayaan yang sebenarnya jika konsep ini dipegang teguh. Mudah-mudahan seperti itu nantinya.

Epilog
Dari uraian di atas kita dapat memahami bahwa sesungauhnya syukur itu merupakan sesuatu yang urgen. Dimana kalau kita telaah itu merupakan kewajiban setiap muslim terhadap sang kholiq, robbul jalil. Dan perlu kita sadari bahwa manfaat dari syukur itu akan kembali kepada kita masing-masing, tidak untuk orang lain atau bahkan untuk Allah swt. Perlu juga kita pahami bahwa andaikata semua manusia di dunia tidak mau bersyukur atas nikmat tuhan (kufur nikmat), tidak ada lagi yang mau menggunakan karunia yang diberikan Allah untuk berbuat kebaikan, tidak akan mengurangi sedikitpun keagungan Allah sebagai pencipta alam semesta. Sebab Allah itu berdiri tanpa memerlukan apapun dari ciptaannya. Justru akibat dari kufur nikmat itu akan dirasakan oleh manusia itu sendiri yaitu akan memperoleh balasan berupa siksa yang sangat pedih kelak di akhirat.

Jadi marilah mulai saat itu kita introspeksi diri, sudahkah kita mensyukuri nikmat Allah, atau bahkan selama ini kita selalu tamak tidak pernah merasa cukup dan kufur akan nikmat Allah? Oleh karena itu mulai saat itu kita bangun konsep dalam diri kita untuk terus dan terus bersyukur (baik dalam doa yang selalu kita panjatkan dan lebih-lebih dalam tindakan) terhadap nikmat tuhan. Dengan begitu kita akan memperoleh keutamaan di dunia dan selamat dari siksa pedih yang dijanjikan Allah bagi orang yang kufur di akhirat. Semoga kita termasuk golongan hamba Allah yang pandai bersyukur dan menjadi golongan orang-orang yang sholih. Robby, auzi’ni an asykuro ni’matakallati an’amta ‘alayya wa ‘ala walidayya wa an a’mala sholihan tardhohu wa adkhilni birohmatika fi ‘ibadikash sholihin, amin ya robbal ‘alamin ...
Wallahu a’lamu bis-showab ...


Samsul Zakaria,
Mahasiswa Prodi Hukum Islam dan Santri PonPes UII Anggkatan 2009

Telaah Sosiologis

MANUSIA; MAKHLUK TUHAN PALING AMPUH


إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً (الأحزاب: 72)


“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat dzalim dan sangat bodoh” (al-Ahzab [33]: 72)


Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Dengan segala potensi yang dimiliki manusia mampu menciptakan berbagai macam teknologi modern. Dengan segala kemampuannya manusia mampu menembus ruang angkasa yang jauh di sana. Berkat karunia tuhan manusia bisa memperoleh berbagai pengetahuan yang sangat berguna untuk kemaslahatannya di dunia. Dengan predikat ahsanu taqwim (sebaik-baik ciptaan) yang ada padanya manusia berbeda dengan semua makhluk lain. Satu aspek penting yang membedakan manusia dengan yang lainnya adalah manusia dikaruniai akal sedangkan tidak demikian dengan makhluk lainnya. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan jika manusia harus memaksimalkan potensi otaknya untuk mengarungi lautan kehidupan di dunia yang fana ini. Dengan demikian kesempurnaan manusia sebagai hamba tuhan terealisasi melalui berbagai macam prestise yang diperoleh.

Sebagai kholifah di muka bumi ini tentu manusia memiliki tanggung jawab yang besar. Manusia lah yang mengatur kehidupannya di dunia ini, mereka yang berusaha melestarikan alam tetapi tidak sedikit juga yang malah melakukan kerusakan. Semua itu akan dipertanggungjawabkan di sisi tuhan kelak pada waktu perhitungan amal. Sedangkan makhluk selain manusia bebas dari tanggung jawab karena mereka hidup di dunia tanpa karunia akal dan apa yang mereka lakukan adalah sesuai dengan kehendak Allah. Andaikata tidak ada hidup setelah mati, tidak ada tanggung jawab dibalik tindakan yang kita lakukan maka pasti kehidupan di dunia ini penuh dengan huru-hara, hampa dari kebenaran dan kebaikan. Namun karena pada hakikatnya manusia itu sadar akan tanggung jawab yang akan diperoleh di akhirat kelak maka dalam setiap perbuatannya manusia memikirkan baik buruknya. Jika dinilai baik maka ia lakukan dan balasan kebaikan pula yang akan diperoleh dan sebaliknya.

Menggapa Manusia Disebut Makhluk yang Paling Ampuh?
Ketika Allah menanyakan kepada langit, bumi dan pegunungan apakah mereka sanggup mengemban amanah. Tak satupun dari mereka yang meng-iyakan bahkan mereka khawatir tidak sanggup memikul amanah itu. Namun akhirnya manusia yang bersedia memikul amanah itu dan nantinya akan dipertangguangjawabkan di yaumil qiyamah (hari pembalasan). Hal ini terjadi sebelum penciptaan manusia, ketika Adam AS ditanya, “Wahai Adam, apakah engkau sanggup memikul amanah itu (hidup dengan penuh ketaatan di jalan Allah) dan sanggup menjaganya dengan penjagaan yang yang sempurna?” tanya Allah. Lalu apa jawab Adam, “Maka tidak ada pilihan lain bagiku kecuali sanggup menerima amanah itu.” Jawab Adam. Kemudian Allah pun berkata, “Jika engkau berbuat baik, manaati perintahku dan memelihara amanat itu maka disisiku adalah kemulian, keutamaan, balasan yang baik (surga) tetapi jika engkau berbuat maksiat, tidak engkau jaga amanat itu, dan kau menodainya maka sesungguhnya aku akan mengadzab dan menghukum kalian (manusia) dengan aku masukkan ke neraka.” Lalu Adam As menjawab, “Aku ridho dengan putusan itu.” (terjehan bebas dari tafsir Ibnu Ibnu Katsir karangan Abul Fida’ ‘Ismail bin Katsir). Dengan demikian manusia lah yang akhirnya mengemban amanah yang berat itu dari Allah swt.

Disini lah letak keampuhan manusia, manakala semua makhluk tuhan tidak sanggup menerima amanat dari tuhan karena kawatir tidak sanggup menjalankannya justru manusia menerima itu dengan segala konsekuensinya. Padahal kita tahu bahwa tabiat manusia tidak selamanya mengarah kepada kebaikan, pikiran mereka tidak selamanya tertuju kepada hal-hal positif. Terkadang ia sadar akan amanat dan tanggung jawab yang ia emban dengan selalu berbuat kebajikan namun di sisi lain ia melalaikan itu dengan berbuat maksiat yang justru menjauhkan dirinya dari rahmat tuhan. Hal ini merupakan sesuatau yang wajar sebab manusia selain memiliki insting ilahiyyah juga mewarisi sifat-sifat bahamiyyah (hewan) dan syaithoniyyah. Sesuai dengan konsep iman yang dikemukakan oleh kaum salafiyyah bahwa al-imanu yazidu wa yanqusu (iman itu akan bertambah dan berkurang), bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Maka akan wajar manakala manusia itu selalu berbuat baik dan ketaatan derajatnya akan lebih tinggi dari malaikat namun ketika berbuat kemaksiatan bisa saja lebih hina dan nista dari hewan bahkan setan.

Dalam akhir surat al-Ahzab ayat 72 di atas Allah SWT berfirman bahwa sesungguhnya manusia itu sangatlah dzalim dan bodoh (dholuman jahulan). Hal ini karena kesedian manusia menerima amanat tuhan yang sesungguhnya begitu berat untuk dilaksanakan sebab kita tahu akibatnya akan fatal andaisaja manusia tidak bisa menjalankannya yaitu neraka. Padahal seluruh makhluk yang ada di dunia menolak penawaran itu, manusia dengan lugunya ridho dengan putusan itu. Hingga sampai saat ini pun manusia masih tetap eksis di dunia dengan beragam tindakan dan perilaku mereka. Dan perlu direnungkan kembali bahwa nantinya perbuatan itu akan dipertanggungjawabkan di akhirat dan tak seorang manusiapun luput dari hisab itu. Semua individu akan merasakan balasan amalnya di dunia, baik yang ia kerjakan kebaikan pula yang diterima, buruk yang ia kerjakan keburukan juga yang akan diterima. Begitulah kira-kira hal ihwal balasan amal manusia di akhirat nanti. Allah maha adil dalam segala sesuatunya dan tidak akan pernah mendzalimi hambanya, prinsip ini yang perlu kita pegang dan dijadikan pedoman. Sehingga predikat dzalim dan bodoh itu sedikit semi sedikit akan tereduksi dan yang tertinggal adalah adil dan pintar dalam segala hal.

Dalam kondisi tertentu Allah memuji manusia karena keluhuran budi pekerti yang dimiliki namun disisi lain mencela manusia karena kelalaian dan kebodohannya. Artinya memang pujian dan celaan itu ibarat dua sisi mata uang yang tiada pernah dapat dipisahkan, dimana kita temukan satu sisi mata uang disitu pula kita dapatkan sisi yang lain. Hal ini sesuai dengan sunnatullah (ketetapan Allah) yang menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan, misalnya dalam konsep jodoh yang disana benar-benar terlihat sisi kebesaran tuhan. Terkadang orang yang secara fisik jelek menikah dengan orang yang tampan atau cantik, tidak bisa kita kritisi karena memang itulah jodoh. Kalau kita paksakan orang tampan mesti menikah dengan wanita cantik, padahal jodohnya adalah wanita yang tidak cantik, sampai kapanpun tidak akan bisa karena sekali lagi itu bukan pasangan (jodohnya), dan ini akan menyalahi kodrat Allah. Mungkin justru dengan wanita yang tidak cantik itu membuat hati sang pria tenang dan justru mampu menciptakan keluarga yang harmonis. Ini lagi-lagi merupakan tanda-tanda kebesaran Allah yang menciptakan sesuatu selalu berpasangan (azwajan) sekaligus sebagai bukti bahwa manusia itu adalah makhluk yang diistimewakan.

Epilog
Manusia sebagai kita fahami dari uraian di atas adalah makhluk tuhan yang paling ampuh, sebaik-baik ciptaan tuhan dengan segala kelebihan dan keutaman yang diberikan Allah. Satu-satunya makhluk yang sanggup menerima amanat tuhan yang maha kuasa. Oleh karena itu marilah kita gunakan potensi yang diberikan Allah ini untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. Jangan sampai nantinya kita menyesal karena telah berbuat kemaksiatan di dunia dan lalai akan amanat itu. Mulai saat ini kita renungkan baik-baik bahwa kita hidup di dunia ini tiada lain kecuali hanyalah untuk beribadah kepada Allah sesuai dengan amanat yang kita emban. Semua yang kita lakukan pasti ada akibatnya dan akan kita pertanggungjawabkan di hadapan tuhan. Dan mari kita jadikan motivasi untuk terus mengabdi dan mengabdi demi sebuah kebahagian di dunia dan di akhirat serta memperoleh ridho Allah yang maha agung. Semoga kita termasuk golongan orang yang selalu sadar akan amanat yang kita bawa dan dapat mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak. Allahumma, hassin a’malana wa balligh ha ila imtiyaziha, amin ya mujiba du’ais sailin ...
Wallahu a’lamu bi-showab ...


Samsul Zakaria,
Mahasiswa Prodi Hukum Islam dan Santri PonPes UII angkatan 2009

Kamis, 28 Januari 2010

Telaah Science dan Keluhuran Agama

SIDIK JARI (BANANAH): BUKTI KEAGUNGAN TUHAN
(MOTIFATOR UNTUK MEMPERBAIKI PERILAKU)



أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَلَّن نَجْمَعَ عِظَامَهُ . بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَن نُّسَوِّيَ بَنَانَهُ (القيامة: 3-4)

“ Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?. (Bahkan ) Kami mampu menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna”. (Al-Qiyamah [75]: 3-4)


` Semua ciptaan Allah swt. yang ada di dunia ini memiliki hikmah yang terkadang manusia tidak sanggup menyibaknya dengan pasti, baik dari segi ilmu pengetahuan (science) maupun secara nash (dalil naqly). Hal ini bisa jadi karena keterbatasan yang kita miliki sebagai makhluk ciptaan tuhan dan atau memang kajian itu merupakan pembahasan yang jarang disentuh sehingga tidak diketahui juga hikmah dari ciptaaan Allah tersebut. Hikmah disini -menurut perspektif penulis- lebih cenderung pada motif, yaitu sebab yang melatarbelakangi penciptaan itu. Karena terkadang hal-hal yang sepele atau dianggap kecil pun memunyai fungsi yang begitu besar. Sesuatu yang dipandang nista ternyata malah menjerumuskan manusia kepada kehancuran. Disinilah letak keagungan tuhan yang maha kuasa sebagai sang pencipta (creator) yang memunyai hak prerogatif mutlak.

Satu contoh kecil yang mungkin saat ini telah terbukti urgensinya untuk mendeteksi pelaku kejahatan tertentu yaitu sidik jari (bananah/bashmatul ashobi') manusia. Semakin majunya teknologi -seperti terjadi belakangan ini- terkadang para pelaku kejahatan dengan mudahnya menghilangkan jejak tanpa ada rasa bersalah lari dari jeratan (delik) hukum. Namun sekarang tidak demikian adanya, pelaku kejahatan dapat diketahui dari sidik jari yang ia tinggalkan pada korban atau barang bukti yang ia sentuh ketika kejadian. Yang pada akhirnya nanti pelaku tidak bisa lagi mengelak andaikata ternyata sidik jarinya cocok dengan cap jari yang disadur kala itu. Hal ini karena setiap manusia itu memiliki sidik jari yang berbeda bahkan anak kembar sekalipun. Disini tentu menjadi bukti betapa agungnya kekuasaan Allah yang memunyai maksud tertentu pada setiap penciptaannya.

Pengertian Sidik Jari
Sidik jari yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan finger print (John M. Echols dan Hasan Syadily, 1998) adalah bentuk atau gambar ujung jari-jemari manusia yang akan tampak apabila ditekankan pada bidang tertentu setelah dibubuhi dengan tinta atau sejenisnya. Hal ini sejalan jika kita merujuk pada pengertian sidik jari menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) yang memiliki dua fungsi yaitu sebagai kata kerja dan kata benda (noun). Sidik jari berarti rekaman jari; cap jempol yang bertujuan untuk menyelidiki bekas jari demi mengetahui dan membeda-bedakan orang (dengan meneliti bekas rekaman ujung-ujung jari tersebut). Dalam konteks ini secara langsung dapat diketahui urgensi sidik jari itu sendiri, yaitu mampu membedakan antara antara individu satu dengan yang lainnya.

Sesuai dengan surat al-Qiyamah ayat 7-8 di atas bahwasanya manusia (orang kafir) menyangka kalau tuhannya tidak mampu untuk membangkitkan sekaligus menghidupkan (menyusun) kembali tulang belulang mereka di hari kiyamat nanti. Padahal Allah swt. mampu mengumpulkan tulang belulang manusia sebagaimana bentuk semula baik yang kecil atau yang besar kelak di hari kebangkitan manusia untuk persaksian (Asy-Syuyuty dan Al-Mahally dalam Tafsir Jalalain). Artinya, Allah swt. dengan kekuasannya bisa merekonstruksi kembali anatomi tubuh manusia yang telah hancur bahkan lebur dan terpisah-pisah sekalipun menjadi bentuk semula yang utuh dan tiada beda. Hal ini yang kemudian sedikit mengilhami manusia untuk mempelajari anatomi yang salah satunya kajian mengenai sidik jari yang dikenal dengan istilah daktilokopi (the study of finger prints). Dengan adanya perkembangan teknologi akhirnya sidik jari manusia dapat disadur dari benda yang telah dipegangnya menggunakan alat tertentu. Alat ini saat ini sering digunakan oleh kepolisian untuk mendeteksi sidik jari pelaku kejahatan demi keakuratan penyelidikan. Subhanallah wa bi hamdihi...

Korelasi Sidik Jari dengan Perilaku Manusia (Behavior)
Manusia lahir ke dunia ini sejatinya telah memiliki janji setia dengan Sang Maha Esa bahwa Ia (Allah swt.) adalah tuhannya yang wajib disembah dan ditaati. Hal ini dilakukan agar pada akhirnya nanti andaikata manusia ingkar akan ajaran ilahi di dunia yang berimplikasi pada balasan neraka di akhirat tidak ada kata protes atau gugatan. Karena manusia sebelum diciptakan ditanya terlebih dahulu dengan kalimat, “Bukankah aku ini tuhanmu?” Kata Allah. Mereka menjawab, “Bala (Benar, engkau adalah tuhanku)”. Inilah kutipan dari percakapan Allah dengan manusia sebelum penciptaannya agar kelak manusia tidak lengah dengan persaksian itu (Al-A’raf [7]: 171). Jadi tidak ada alasan bagi manusia di dunia yang fana ini untuk tidak mengabdi kepada Allah sebagai sang kholik yang telah menciptakannya sebagai anugerah yang paling berharga. Walaupun kita tidak menyadari percakapan kita dengan Allah kala itu tapi itu sudah menjadi takdir yang tidak bisa dihindarkan lagi yang memang mesti kita terima. Andaisaja ketika itu kita menyatakan ketidaksanggupan atau tidak mengakui Allah sebagai tuhan kita maka pasti Allah pun tidak mengirim kita ke dunia yang penuh dengan tipu daya ini.

Sidik jari merupakan bagian dari tubuh manusia yang paling unik karena terletak di ujung jari manusia yang membentuk garis memanjang. Terkadang kita tidak menyadari maksud dari adanya garis-garis itu apakah hanya sekadar pelangkap saja untuk memperindah jari-jemari manusia. Tapi, lebih jauh dari itu ternyata sidik jari sesuai yang telah dijelaskan di atas memunyai seribu makna yang sungguh luar biasa. Selain itu sidik jari manusia menunjukan akan kebesaran Allah yang telah menciptakan manusia dalam bentuk yang seindah-indahnya (ahsanu taqwim). Ini adalah suatu karunia yang begitu dahsyat yang wajib ‘ain untuk disyukuri agar kita termasuk golongan hamba yang pandai bersyukur. Dengan bersyukur secara tidak langsung tersirat doa supaya Allah terus mencucurkan nikmatnya kepada kita karena hakikat dari doa itu adalah rasa syukur manusia akan nikmat tuhannya (haqiqotud du’a asy-syukru [Mujiono, 2010]). Dengan terus mensyukuri nikmat tuhan berarti kita telah berusaha untuk qonaah dan ridha atas semua yang kita miliki dan alami dengan tidak menafikan usaha keras dan tawakkal.

Manusia harus berhati-hati dalam berbuat dan bertindak karena semua yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban. Kehati-hatian itu bisa dimanifestasikan pada amaliyyah yaumiyyah yang secara kontinyu dilaksanakan. Tidak menganggap hal-hal yang kecil itu sepele atau nista tiada arti. Karena bisa jadi sedikit kecerohan kita kan membawa kepada lembah kenistaan atau bahkan perkara kecil itu yang membawa banyak manfaat dan berkah dalam hidup kita. Contohnya saja sidik jari manusia yang sekilas tidak menarik dan tiada guna namun ternyata menyimpan rahasia yang begitu urgen untuk kepentingan (mashlahah) manusia. Hal ini sejalan dengan statemen yang menyatakan bahwa manusia tidah jatuh karena batu besar yang mengalangi langkahnya namun bisa jadi jatuh tersengkur disebabkan oleh batu kecil yang ada di depannya yang sekilas tak nampak. Hal ini menunjukan bahwa betapa beruntungnya orang yang selalu berhati-hati dalam melangkah dan mengambil keputusan. Perkataan yang telah keluar dari lisan -yang konon lebih tajam dari mata pedang- tidak akan dapat ditarik kembali dan pasti ada konsekuensi dan pertanggungjawabannya.

Epilog
Hidup di dunia ini hanyalah sementara karena pada saatnya nanti kita akan menemui hari pembalasan. Hari yang dinanti-nantikan oleh orang-orang yang selalu berbuat kebajikan namun menjadi momok yang begitu ditakuti oleh mereka yang selalu berbuat kemungkaran. Tiada yang dapat menolong manusia kecuali amal kebajikan yang ia lakukan di dunia. Harta dan jabatan yang kita miliki tidak akan berarti apa di yaumil mahsyar nanti bahkan istri dan buah hati yang begitu kita cintai tiada lagi mengikuti kita. Hal itu karena manusia akan bertanggung jawab terhadap amalnya masing-masing dan seseorang tidak bisa mewarisi atau menanggung dosa orang lain (Al-An’am [6]: 164). Begitulah kira-kira hal ihwal manusia di akhirat nanti sebelum akhirnya mendapat putusan dimana ia akan kembali (jannatun na’im atau neraka) dan kekal di dalamnya.

Sebagai makhluk tuhan yang dianugerahi potensi akal dan pikiran yang sempuna, marilah kita terus berlomba-lomba dalam kebajikan. Dengan karakteristik penciptaan manusia yang variatif dan berbeda-beda ini yang seharusnya menstimulus manusia untuk fight dalam berkarya dan beramal tentunya. Dan juga terus berusaha memikirkan ciptaan Allah swt sebagai bukti keagungan dan tanda kebasarannya. Sesuai dengan hadits rosul, “tafakkaru fi kholqillah wa la tafakkaru fi dzatillah (Renungilah ciptaan Allah dan jangan berfikir akan dzat Allah)”. Dengan terus bertafakkur berarti kita telah menyukuri niknat dan karunia Allah swt dan akan berdampak pada rasa tenang dan nyaman dalam hidup kita. Selalu berhati-hati dalam berbuat (ihtiyath) akan lebih menyelamatkan kita dari lembah kenistaan baik di dunia atau di akhirat. Akhirnya, semoga kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari ciptaan Allah swt serta menyukurinya. Dan kita berharap dengan penuh ketawadhuan agar kita menjadi golongan orang yang selamat (firqoh najiyah) dan mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Amin ya robbal ‘alamin...
Wallahu a’lamu bis-showab...



Samsul Zakaria,
Mahasiswa Prodi Hukum Islam dan
Santri PonPes UII
Angkatan 2009


Nomor Rekening: 3079-01-006430-53-2

Sabtu, 23 Januari 2010

Muhasabah in 'Arobiyyah

المحاسبة:
طريقة ترقية درجة الإيمان


فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ . فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَاباً يَسِيراً
(الإنشقاق: 7-8)

إذا لاحظنا ملاحظة دقيقة عرفنا أن الله يرسل الحكمة و الإعتبار من المصا ئب التى تصيب هذه الدنيا دائما. لا فرقَ فى كلام يترك أثرا فى قلب سامعيْه. و كذالك بما أنزل الله إلى الناس - كلام الله على شكل إشاري- بالطبع يحتمل المقصود و الغرض اللذَين نشعر الصعوبة فى فهمهما أحيانا. و ينبغى الناس أن يشعروا هذا الحال ثم يحلله جميعا. بل, نعترف أن هذه محدودات الناس كمخلوق الله ليفهموها و تكون هذه الحالة تقرير الله سبحانه و تعالى.

يوم الأحد, تاريخ 11 من ينايير 2010 وقعت زلزلة أرضية بتاسك مالايا فى قوة عظيمة تعنى خمسة سولة أربعة سكالا ريتر و إن كانت لا تمكن إخراج ماء البحر (ثونامى). تكون هذه المصيبة و المصائب الأخرى الواقعة مشيرة إلينا أن هذه الدنيا لا تصاحب الناس لأنها قد فسدها الناس بأيديهم الجاهلة و هم لا يريدون أن يحبوا هذا العالم. بنظرة أخرى, لا نبالى إتهام وقوع القيامة 2012 الذي يسبب تساؤلات غير واضحة – على نظر الكاتب – هذه الوقوعات غير العادية تشير أن وقتا معلوما وعده الله نسميْه يومَ القيامة كان قريبا جدا.


أيها الإخوان ...
مازلنا فى أوائل السنة, هجرية كانت أم ميلادية, فينبغى لنا أن نوجهَ هذه الإشاراتلِ, علينا محاسبةُ جميع أخلاقنا اليومية. هل لقد وفرْنا واجباتنا كعباد الله أو كانت أعمالنا بعيدة من القيم الدينية؟ ولذالك, حي بنا نفتش أنفسنا لأجل استقبال الحياة المناسبة بتعاليم دينية. لأننا نعرف أن الموت يمكن وقوعه غدا قبيل قيامنا من النوم. و عسى أجلنا يلحقنا قبل توبتنا مقبولة عند الله أو إزرئيل قد نزع روحنا قبل أن نتوب إلى حضرة الله سبحانه و تعالى. و أشذ ضرارا, إذا طارت نفوسنا و كنا فى معصية الله أو فى التهلكة. نعوذ بالله من ذالك...


حقيقة المحاسبة
ألمحسابة هي كلمة كثر الناس أخطؤوا فى فهمها حقيقة. هم يعتقدون أن المحاسبة هي ذكر الأعمال الخاطئة التى فعلوها بالندامة و بكائه. فى الحقيقة, هذا التعريف ليس فهمَ المحاسبة الصحيح, لكن أُعتبر هذا التعريف شرطا من الشروط التى وجب توفرها للحصول على توبة نصوحا (التوبة الخالصة الصحيحة). رجوعا إلى حديث رسول الله صلى الله عليه و سلم عن حقيقة المحاسبة, نجد أن المحاسبة هي إجبار النفس و إرشادها لتطيع جميع أوامر الله سبحانه و تعالى جل جلاله إبتغاءَ الزاد للحياة فى الأخرة (سول هادي, 2007). مطابقا بهذا التعريف, علينا أن نرشد أنفسنا لتطيعَ أوامرِ الله و سنةِ رسولِ الله. و إذا أديْناها إستطعنا أن نحاسب أنفسنا محاسبة حقيقية.

نفتح معارف من شتى المراجع الأخرى, إن نقرأ تعريف المحاسبة عند مُعجم اللغة الإندونيسية الكبِير, نجدُ أن المحاسبة هي ملاحظة و تفتيش على الأعمال و الطبيعات و الضعائف والخطيا: إحتياط النفس. نستطيع أن نستنبط أن المحاسبة هي كسب لتفتيس جميع أفعالنا تفتيشا شموليا ثم نُلهَمَ أن نصلِحها إلى ما كان خيرا و أحسن. بهذا, نُدومَ فى حالة جيدة لأن أعمالنا مفتشة بمحاسبة نأديْها كل وقت و حال. هذا التعريف السابق مناسب بمعنى محاسبة عند معجم أوقسفرود يعنى إنتاج إحطياطي نحو النفكير و الإحساسات و هلم جرا من التفتيشات.

لا نبالى إختلاف المفاهم السابقة, هنا نستطيع أن نفهم أن المحاسبة فى الحقيقة هي تفتيش نحو أخلاقنا ثم نكسبَ أن نجددها ألى أخلاق كُرمَى. و حفظ أنفسنا من المعاصى ثم إجبارها إلى إطاعة أوامر الله و رسول الله (ألتعاليم الدينية) لأنها ثمن توقيفي, لا نستطيع أن نساوَمَها. هذه كلُها مفعولة لِأجلِ إبتغاء مرضاتِ الله و للحصول على السلامة فى الدنيا و الأخرة. أمين ...


الحكمة وراء المحاسبة
أُحضرُكم جميعا قصة جذابة نستطيعُ أن نقطفَ حكمتَه. القصةُ, عاشَ تابع صالح مسمى عطاء السلامى. ذات يوم, أراد أن يبيع أقمشة صنعها إلى أحد مشتري. بعد أن لاحظها المشترى ملاحاظة تامة, ثم قال له المشترى: "يا عطاء, إن الأقمشة التى صنغتها كانت جيدة, لكن فيها عيب أو علة حتى لا أستطيع شراءها." عند سماع عطاء أن فى أقمشته عيب, تخيل ثم بكى. لأ نه ظن أن
أقمشته كانت حسنة لا علة و لا غيب فيها.

نظر المشتري عطاء باكيا, قال له, "يا عطاء, إنى قلت لك حقيقة أن فى أقمشتك عيب حتى لا أشتريَها. لو كنتَ باكيا بسببها, إسمع لى أن أشتريَها و أد فعُ بثمن تام."

لكن هذه المساومة أجابها عطاء:"يا صاحبي, تظنُ أنى بكيت بسبب أقمشتى المعللة؟ إعلم! إنى لا أبكى به. إنى بكيت لأ نى ظننت أن ألأقمشة التى صنعتها شهورا طويلة خالية من العيوب, لكن عند ك أهل الأقمشة منظور عيبه. و كذالك أبكى إلى الله تعالى, لأ نى ظننت أن العبدات التى فعلتها طوال سنة خالية من العيوب. بل, ممكن عند الله جل شأنه عيب فيها, هذه التى تسببنى باكيا يا أخي. سبحان الله و بحمده, لا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم ...

ألحكمتان موجود تان هنا نستطيع أن نأخذَها من القصة السابقة. أُلأولى, علينا معاودةُ المحاسبةِ نحوَ أعمالنا التى فعلناها. لأن ليس جميع أعمالنا التى إعتقدناها خيرة عند الله خيرة, بل ممكن لا معنى و لا منفعة فيها. دكتور ناصر عاوان فى كتابه الموضوع "روحنية الداعية" شرح حقيقة المحاسبة أنها: "ينتغى للمؤمن أن يحاسب نفسه عند إنتهائه عملا, هل غرض العمل للحصول على مرضات الله أو هذا العمل دخلتْهُ رياء و غيرها من الأخلاق المذ مُومة؟ فى هذه الحالة, نُطلَبُ أن لا نكون متكبرين على الخيرات التى فعلناها, لأن عسى أن تكون هذه ملغاة عند الله. و الثانى, أن لا نعتمد على الأعمال التى أديناها لندخل جنة الله تعالى. علينا أن نعتمد على رحمة الله و مغفرته. و لذالك نحن ممنوعون أن نَيأسَ نحو ذنوب فعلناها. مهما كل ذنب فى هذه الدنيا مجموع, لا يأثر توسعة بحار رحمة الله و مغفرته.


ألإختتام
لقد عرفنا أن المحاسبة مهمة فى حياتنا فينبغى لنا أن نفعلها كل وقت. و بالخصوص, كلما إنتهينا من عمل لتكون أعمالنا اليومية مقبولة و نظيفة من الرياء التى تسبب سقوط ثوب العمل. بمعاودة المحاسبة, نستطسع أن نرقي درجة إيماننا. فضلا, نحن سوف نكون مفلحين فى يوم الحساب (يوم الميزان) فيما بعد لأننا قليلة كانت أم كثيرة لقد حاسبنا أعمالنا فى هذه الدنيا. إنشاء الله ...

كان عمر ابن خطاب يقول: "حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا". و لذالك علينا دوامُ محاسبةِ أعمالنا من وقت إلى وقت. بهذا, نجِدُ كمالَ العبادة و نستطيعُ أن نحصلَ السعادة فى الدنيا والأخرة. أخيرا, عسى أن نكون من الُمُصلِحين, نحصلُ كتابةَ أعمالنا من يدنا اليمنى و نجد مغفرة من الله تعالى على ذنوب فعلناها. أمين, يا رب العلمين ...
والله أعلم بالصواب ...


شمس الزكريا,
طالب معهد الجامعة الإسلامية الإندونيسية
مرحلة 2009

Kamis, 21 Januari 2010

Altruisme dalam Islam

ALTRUISME DALAM ISLAM (ITSAR):
MENCIPTAKAN SUASANA KEHIDUPAN MASYARAKAT YANG BAIK


وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (الحشر: 9)

"Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah mke tempat mereka. dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Al-Hasyr [59]: 9)


Dalam kondisi zaman yang sudah tidak bersahabat ini jika kita mau sedikit peka nampaknya egoisme menjadi sebuah sikap yang tumbuh berkembang dalam kehidupan masyarakat. Dimana setiap individu selalu mementingkan dirinya sendiri tanpa mau memperdulikan orang lain yang juga membutuhkan. Kelompok tertentu hanya berusaha memperjuangkan nasib kelompoknya tanpa mempehatikan kemaslahatan kelom[ok lain yang sebetulnya berhak untuk mendapatkan haknya. Banyak wakil rakyat yang notabene mereka adalah sebagai penyalur aspirasi rakyat melalaikan amanat itu, ia hanya bekerja untuk membesarkan pertainya atau hanya memikirkan kepantingan kesejahteaannya. Padahal sebagai manusia yang berfungsi sebagai kholifah di muka bumi, kita ditakdirkan untuk hidup berkelompok dan saling tolong menolong dalam kebaikan. Eksistensi suatu masyarakat tertentu juga berpengaruh terhadap keberadaan masyarakat lainnya.

Sikap saling menguntungkan (mutualisme) dan atau bahkan lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sudah tidak nampak lagi dalam kehidupan bermasyarakat. Andaikata ada pun rasionya kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada di Indonesia saat ini. Padahal kita tahu seseorang itu akan menjadi bermanfaat dan berguna jika orang lain menbutuhkan keberadaannya di dunia ini. Kita akan menjadi anfauhum linnas jika apa yang kita miliki bisa mendatangkan kemaslahatan dan kebahagian banyak orang. Bukan malah apa yang kita miliki kita gunakan hanya untuk kepentingan pribadi yang terkesan egois dan seolah menafikan orang-orang yang ada di sekitar kitra yang juga membutuhkan. Oleh karena itu sikap memntingkan orang lain di atas kepentingan pribadi harus kita bangau dan kita tanamkan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dimaksudkan agar tercipta suasana kehidupan yang nyaman dan tidak ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin, antara mereka yang memiliki pangkat dan jabatan tinggi dengan kaum tertinggal. Sehingga nilai-nilai luhur agama dan pancasila tercermin dalam kehidupan rakyat Indonesia yang berdemokrasi.

Pengertian Altruisme
Kata altruisme merupakan turunan dari kata alter yang berarti loving athers as one self (mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri) atau dalam Kamus Oxford disebutkan bahwa altruisme yaitu memperhatikan kebutuhan orang lain lebih dari apa yang kita pikirkan untuk diri sendiri (fact of caring about the needs of other people more than your own). Altruisme sendiri dalam kajian Bahasa Arab dikenal dengan istilah al-Itsar yang berarti pengutamaan atau tafdhil (Kamus al-Munawwir,1997). Altruisme termasuk sebuah dorongan untuk berkorban demi sebuah nilai yang lebih tinggi, tanpa memandang apakah nilai tersebut bersifat manusiawi atau ketuhanan. Kehendak altruis (orang yang mempunyai jiwa altruistik) berfokus pada motivasi untuk menolong sesama atau niat melakukan sesuatu untuk orang lain tanpa pamrih (Mustofa, 2010).

Dari beberapa rujukan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa altruisme adalah suatu sikap untuk mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi dan golongan dengan semangat berkorban yang penuh keikhlasan. Dalam aplikasinya Altruisme memotori dua nilai yaitu penerapan nilai agama (tathbiqul qimah diniyyah) dan nilai kemanusiaan itu sendiri. Dengan seperti ini iklim kebersamaan dan saling memperhatikan akan betul-betul dirasakan dalam kehidupan. Sikap saling menghormati dan menghargai akan tercipta dan terealisasi sebagai modal dasar melakukan rekonstruksi menuju kejayaan bangsa ini dan menciptakan iklim kehidupan masyarakat yang baik dan kondusif.

Urgensi Altruisme dalam Kehidupan
Sikap mementingkan orang lain dalam kehidupan merupakan sesuatu yang sangat penting demi terciptanya kehidupan yang nyaman dan tentram. Karena semua orang akan berusaha memberikan manfaat dari apa yang ia miliki kepada yang lainnya. Rasa rakus akan harta dan gila pangkat akan sedikit tereduksi karena berusaha menerapkan sikap ini dalam perilakunya sehari-hari. Sehingga si kaya akan hidup tenang karena telah menunaikan kewajibannya dan si miskin akan merasa diperhatikan karena kebutuhannya terpenuhi. Dengan seperti itu tidak akan ada lagi kasus penodongan dan pencurian seperti yang marak saat ini yang begitu meresahkan masyarakat. Karena semuanya telah berjalan bergandengan dan saling memperhatikan. Para wakil rakyat yang duduk di parlemen menunaikan amanatnya dengan baik karena ia ada karena dukungan dari rakyat yang telah memilihnya pada Pemilu. Mereka berjuang dan bekerja untuk kepentingan orang banyak bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Begitu juga kita harus berusaha menjalin hubungan baik dengan sesama manusia.

Altruisme itu sendiri sudah pernah dicontohkan oleh kaum Anshor di Madinah yang merelakan harta dan tempat tinggal mereka diberikan untuk kaum Muhajirin yang hijrah ke daerah mereka. Walaupun sebetulnya mereka masih membutuhkan itu namun karena didasari rasa sepenanggungan dan demi tegaknya agama Allah dengan senang hati mereka merelakannya. Dalam kehidupan sehari-hari memang terasa berat untuk mementingkan orang lain atau sekadar berkorban. Namun hal ini akan menjadi sebuah kebiasaan yang mendarah daging jika kita terus membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Layaknya kaum Anshor yang terus bisa hidup berdampingan dengan kaum Muhajirin ketika itu. Sehingga muncul sebuah adigium, “Mula-mula manusia membentuk kebiasaan dan pada akhirnya kebiasaan itu yang membentuk manusia” (Ichikawa, 2009). Mula-mula kita membiasakan diri untuk bersikap altruistik maka lama kelamaan sikap itu yang akan mewarnai hidup kita. Hal ini akan tercermin tindakan kita dimana kita akan merasa bersalah manakala tidak bisa membantu orang lain dan ini yang dinamakan kebiasaan telah menbentuk kita.

Di sisi lain, Altruisme ini tidak serta merta boleh diterapkan dalam segala hal. Ada bagian tertentu dimana setiap individu tidak boleh mengutamakan orang lain yaitu dalam hal peribadatan. Sebagai ‘abidullah (hanba Allah) kita harus berlomba untuk melakukan yang terbaik dalam ibadah dan selalu berusaha menjadi yang terdepan. Hal ini karena tujuan dari ibadah itu adalah pengagungan (ta’dzim) dan pembesaran (ijlal) terhadap Allah SWT melalui ibadah itu. Jadi tidak ada alasan untuk mengutamakan orang lain dalam hal peribadatan karena urgensi dari ibadah itu sendiri tentunya. Misalnya dalam hal bersuci dan memilih shof yang pertama dalam solat, seorang muslim harus berusaha (melaksanakannya) menjadi yang pertama dan terdepan. Hal ini karena ibadah itu merupakan hubungan yang murni antara hamba dan tuhannya (Allah SWT). Altruisme yang dimaksud dalam konteks ini adalah mentumakan orang lain dalam kehidupan dunia dan dalam hal muamalah. Bahkan dalam Itsar dalam kehidupan dunia adalah sesuatu yang disenangi atau sunnah (mahbubun). Hal ini sesuai dengan kaidah Usul Fiqh yang berbunyi:

ألإيثار بالعبادات مكروه و بالدنيا محبوب (عبد الحميد حكيم فى السلم).

Artinya: “Mengutamakan (orang lain) dalam peribadatan adalah dibenci (makruf) dan dalam dunia adalah sunnah (disukai). Abdul Hamid Hakim dalam Kitab as-Sulam.

Epilog
Begitu pentingnya altruisme (al-Itsar) dalam kehidupan maka marilah kita berusaha menerapkankan dalam segala perilaku dan tindakan kita. Hal ini akan mendatangkan manfaat bagi diri kita pribadi (di sisi Allah) dan maslahat yang besar bagi orang lain. Karena altruisme itu sendiri merupakan salah satu ajaran Quran yang merupakan pedoman umat islam dalam kehidupan beragama (muamalah). Dengan menerapkan sikap ini dalam kehidupan berarti kita telah mengamalkan dan mesyiarkan nilai luhur Quran. Begitu juga dalam hal etika, altruisme merupakan sikap yang terpuji yang disenamgi semua orang. Sehingga akhirnya kita akan tercatat di sisi Allah sebagai orang-orang yang beruntung (al-Muflihun) di hari pembalasan nanti dan mendapatkan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amin ya Allah ya Mujiba du’ais sailin...
Wallahu a’lamu bis-showab...


Jogjakarta, 22 Januari 2010


Samsul Zakaria,