Kamis, 21 Januari 2010

Tajribaty al-Hayatiyyah

PEMIMPIN ITU DARI UII
(My Personal Experience)


Hari itu Senin, 18 Januari 2010, Aku dan temanku, sebut saja Mas Tubagus (teman akrabku sejak Aku masih di Aliyah) pergi ke kampus kami Universitas Islam Indonesia (UII). Saat itu masih dalam suasana semesteran kampus dan di hari itu bertepatan dengan ujian mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH) yang diampu oleh Drs. Dr. Dadan Muttaqien, SH. M Hum. Karena jadwalnya setengah satu siang (ba’da Dhuhur) maka sekitar jam 11.30 Aku dan Bagus sudah bergegas pergi ke Kampus. Hal ini agar nanti bisa solat di Kampus dan dengan harapan supaya tidak ketinggalan alias tepat waktu (on time) masuk kelas. Maksud hati memeluk gunung namun apa daya tangan tak sampai, maksud kami ingin masuk kelas tepat waktu namun apa daya musibah menimpa kami berdua siang itu.

Ketika sampai pada kilometer 14 jalan Kaliurang, sudah dekat kampusku, tiba-tiba ban belakang motor yang kami kendarai bocor. Dengan menimbulkan buyi aneh terlebih dahulu. Semula Aku tak menyangka kalau bunyi itu ditimbulkan oleh motor Supra X 125 cc yang kami kendarai. Tidak jauh dari situ motor terasa berat dan serasa ada sesuatu yang mengganjal, ya karena ban sudah bocor dan anginnya pun sudah habis. Tentu kami pun tidak dapat melanjutkan perjalanan dan terpaksa harus istirahat menunggu selesai ban motor ditambal karena dekat lokasi itu terdapat bengkel tambal ban. Kondisi tubuhku ketika itu sebenarnya sudah tidak fit, Daku merasa sedikit using dan bawaannya ngntuk meskipun paginya Aku sempat tidur di Pondok, he..

Bukan ini sebenarnya yang ingin saya bahas dalam tulisan ini. Aku hanya ingin sedikit berbagi mengenai nasihat sekaligus pengetahuan yang Aku dapatkan ketika kejadian itu. Saat Aku menyebrang menuju bengkel ban yang berada di Timur jalan di sana sudah ada bapak yang sedang memompakan ban mobilnya. Bapak tadi tidak menyempatkan duduk sejenak pada banku yang disediakan pemilik bengkel bagi pelanggan (pemilik kendaraan). Dia hanya berdiri saja menunggu ban mobilnya dipompa. Karena capek dan ngantuk akupun langsung duduk di bangku itu yang posisinya tidak jauh dari Pak tua tadi berdiri. Terkesan kurang sopan memang. Tapi rasa ngantuk yang menimpaku membuatku tidak berfikir dua kali untuk duduk dibagku yang kira-kira bisa diduduli 3 orang itu. Tak ku sangka, tiba-tiba bapak yang mengaku sudah pensiun 30 tahuna itu menanyaiku, “kuliah dimana Dik?” tanyanya. Aku pun menjawab bahwa Aku kuliah di UII yang letaknya tak jauh dari lokasi itu (Kampus UII berada di KM 14,5). Mendengar jawabanku Bapak yang tidak sempat mengenalkan namanya padaku tersentak dan langsung merespon jawabanku, “Oh, bagus, bagus”, tuturnya.

Dalam kengantukanku yang tak tertahankan Akupun menjadi tertarik dan terhanyut dengan perbincangan singkat itu dan rasa ngantuk yang menyerangku hilang. Dalam hatiku sempat terlintas pertanyaan mengapa bapak tadi menyatakan eksprasi senang ketika aku menyebut UII. Apakah image UII sebagai salah satu Universitas Islam swasta menyimpan kesan baik pada kalangan tertentu atau ada alasan lainnya. Meskipun Aku pribadi merasa sangat bangga bisa melanjutkan pengembaraan di Universitas ini. Sebelum Aku sempat menanyakan alasan bapak tadi mengatakan UII itu bagus, beliau sudah menambahi pernyataannya, “Pemimpin bangsa ini seharusnya lahir dari Universitas sekelas UII, setidaknya kalau pemimpin itu dari UII (Universitas yang punya basic keislaman) jika akan memulai sesuatu terlebih dahulu membaca Basmalah.” Tukasnya. Akupun jadi tertegun dengan setatemen itu dan hanya menundukan kepala pertanda setuju dengan alasan logis yang diutarakan bapak tadi. “Bangsa ini sudah terlanjur bobrok, lembaga yang diberi amanat untuk menyelesaikan kasus korup di Indonesia justru malah terlibat korupsi di intern lembaganya” tambahnya.

Menarik memang, bapak yang mengaku sudah berumur 76 tahun itu ternyata memiliki daya kritis yang pedas terhadap kehidupan berbangsa di Indonesia. Hal ini karena memang seperti itu realitanya, lembaga peradilan di Indonesia sudah tidak memiliki kesan baik dan wibawa di mata masyarakat. Anggota DPR sebagai penyalur aspirasi rakyat yang seharusnya memberikan tauladan yang baik bagi bangsa justru melakukan tindakan yang menodai citranya sebagai wakil rakyat di parlemen. Kejujuran yang mesti dikedepankan dalam segala bidang dinafikan begitu saja tanpa ada rasa bersalah. Padahal kejujuran itu akan membawa pelakunya kepada kebaikan dan kebaikan itui akan menuntnya menuju keabadian di surga Allah SWT. Namun dalam kondisi yang tertentu manusia tidak memikirkan lagi dampak fatal dari kebohongan yang ia lakukan. Padahal sekali berbohong itu akan menyebabkan bohong yang kedua kali demi menutupi kebohongan yang pertama dan seterusnya. Sehingga ia menjadi makhluk yang paling banyak berohong (kadzdzab). Na’udzubillahiu min dzalik...

UII sebagai Universitas yang komit akan keagamaan sekaligus unggul di bidang intelektual dan teknologi diharapkan bisa mencreate pemimpin bangsa yang memiliki kredibelitas tinggi. Mampu mencetak kader pemimpin umat yang memunyai potensi yang seimbang antara intelektual dan spiritual. Sanggup menyiapkan generasi yang mampu menghadapi dan merespon perkembangan zaman yang semakin radikal dan liberal. Berhasil meluluskan sarjana yang mumpuni dan siap terjun di masyarakat. Demikian kira-kira harapan bangsa terhadap Universitas di Indonesia khususnya UII, termasul bapak tadi. Hal ini karena sudah menjadi keniscayaan bahwa sebuah Universitas dianggap berhasil jika mampu menelurkan lulusan yang berdaya saing yang berilmu amaliyah dan beramal ilmiyah (jargon UII). Amin ya Robbal ‘alamin....

Jogjakarta, 21 January 2010

Samsul Zakaria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullahu khairan katsiran...