Senin, 11 April 2011

Cerpen

KAGUM
Oleh Samsul Zakaria





Semilir angin malam terkadang memaksaku untuk mengingat sosok yang "aku kagumi itu". Tapi, apalah daya, aku masih sangat menjaga diri untuk sekadar mengatakan "ini dan atau itu". Ya, cukuplah aku hembuskan rasa itu via desir angin malam sebagai SMS cinta yang boleh jadi sampai boleh juga tidak. Begitulah, kira-kira caraku memaknai sebuah perasaan yang saat ini berkelibat dalam kalbu ini.


Berawal dari sebuah pertemuan singkat. Aku sungguh terkagum sekaligus terpana dibuatnya. Pesona wajahnya. Betapa anggun langkahnya. Begitu santun tutur katanya. Aku dibuatnya tidak nyenyak tidur semalam suntuk. Wajahnya terus mengitari pelupuk mata yang seharusnya beristirahat. Tapi, aku terus membela diri. Malam itu istirahatku diganti dengan mengingatnya.

Bus Trans Jogja di pagi yang cerah. Awal aku bertemu dengannya barang 20 menitan. Aku duduk tepat disampingnya. Sosok wanita berjilbab lumayan panjang, sedang asyik dengan buku religi yang ada di tangannya. Wah, jarang-jarang ada orang baca dalam suasana seperti ini, bisikku dalam hati. Kalau ada seribu wanita sepertinya alangkah majunya bangsa ini.

Aku tak berani memandangnya dengan terang-terangan. Hanya sesekali aku lirikkan mata ke arahnya. Aku tahu gadis seperti dia pasti sangat menjaga diri. Aku tak ingin menodai kesuciannya barang secuilpun. Tapi aku sadar bahwa aku dibuatnya mabuk kepayang dalam satu kali perjumpaan, saat itu. Entah setan apa yang merasuk dalam dadaku. Aku jadi kefikiran yang macam-macam saat itu juga.

Senyum. Begitulah aura wajah yang dia tampakkan. Aku jadi ingat teori membaca yang baik. Kalau ingin mendapatkan materi bacaan dengan baik maka kita harus bersikap ramah dengan buku. Caranya dengan berfikir positif dan mencoba untuk tersenyum ketika membaca. Dengan begitu ilmu yang ada dalam buku itu akan mudah masuk dalam fikiran. Wah, aku jadi semakin yakin bahwa dia memang bukan gadis sembarangan.

Aku memang terbiasa menaiki Trans Jogja untuk menuju kampusku. Sepuluh menit sudah perjalanan berlalu. Akhirnya, aku tak tahan untuk menahan hasrat untuk sekadar bertegur sapa. “Mau turun di mana, Mbak?” Aku mencoba memancing percakapan, sekaligus sekadar basa-basi. “Oh, di UIN, Mas.” Dia menjawab seadanya. Oh, ternyata kami satu arah dan tujuan. Apakah ini pertanda bahwa kami memang sejodoh? Ah, terlalu optimis diriku berharap. Katanya, menghayal tinggi-tinggi bisa mati berdiri, lho! Tidak deh.

Aku tidak langsung meneruskan percakapan. Aku masih berfikir pertanyaan apa yang paling pantas aku utarakan kedua kali. Aku khawatir dia tidak simpatik kalau aku menanyakan hal yang tidak tepat. Sekitar 2 menit berlalu. Aku mencoba menanyainya lagi. “Mbak kuliah di jurusan apa kalau saya boleh tahu?” Aku tetap menjaga pandanganku untuk tidak menatapnya tajam. “Pendidikan Agama Islam, Mas.” Kali ini dia terlihat agak cair. Aku jadi semakin tertarik untuk melanjutkan tanyaku. Mungkin 5 menit lagi bus akan berhenti di halte. Artinya, kesempatanku terbatas.

“Oh ya, emangnya, Mas, jurusan apa?” Dia berganti menanyaiku. Masih dengan senyumannya yang manis. Aku hampir kehabisan susunan kata untuk sekadar menjawabnya. Aku tak mengira dia akan menanyaiku. Tapi aku tak boleh menampakkan rasa gugup sekaligus kagumku. Aku harus kuat, apalagi menghadapi wanita, yang sebagian orang masih menganggapnya lebih rendah dibanding laki-laki. “Jurusan Tafsir Hadits, Mbak,” jawabku lirih.

“Oh ya, kok kita sudah asyik ngobrol tapi belum berkenalan,” ucapnya sembari menutup bukunya. “Iya, nih.” “Perkenalkan nama saya Ala Nurlaila, Mas!” “Hem, nama yang indah. Pasti orang Sunda?” “Kok tahu, Mas?” “Kan nama orang Sunda suka diulang-ulang. La ketemu lagi dengan La!” “Ah, Mas, bisa aja!” “Oh ya, nama saya Faiqul Munir. Panggil aja, Faiq!” Benar-benar mengesankan percakapan kami. Ala kadarnya tapi menyisakan bekas yang tertancap kuat dalam hatiku. Itu karena aku sudah begitu mengagumi wanita itu. Ya, wanita yang bernama Ala Nurlaila.

“UIN Suka-UIN Suka!” Suara kondektur seketika menghentikan percakapanku dengan Ala. Aku harus turun, begitu juga dengannya. Aku dan Ala memang satu kampus, tapi beda jurusan. Aku melangkah ke arah Timur sedangkan dia ke Barat. Pupus sudah harapanku untuk mengenalnya lebih dalam. Aku-pun tidak sempat meminta nomor HP-nya. Rasanya juga tidak pantas untuk kali pertama bertemu langsung meminta nomor. Terlalu naif bagiku. Biarkan Tuhan yang mempertemukan kami kembali kalau memang Dia berkehendak. Aku tak mau mengubah takdir.

Aku mungkin bisa menemui seribu wanita semacam Ala. Tapi tidak mungkin aku temui 2 Ala, yang persis sepertinya, di dunia ini. Aku tidak pungkiri kalau aku sudah jatuh dalam lubang yang kata orang bernama asmara. Aku ingin memiliki Ala walaupun aku tidak lagi dapat menemuinya. Aktivitasku padat. Apalagi aku sibuk di organisasi yang sebentar-bentar rapat. Huft, aku tak punya cukup waktu untuk mencari Ala. Aku juga tak yakin kalau dia belum dimiliki siapa-siapa. Alangkah kecewanya kalau ternyata dia sudah menjadi hak orang lain.

Kalau sudah begini hanya doa yang dapat aku panjatkan. Kalau memang dia disediakan untukku pasti sangat mudah jalan untuk bertemunya lagi. Bertemu untuk lebih mengenal. Mengenal untuk kemudian mempersuntingnya. Tapi kalau memang dia bukan jodohku maka aku tak perlu sedih. Bukankah jodoh adalah salah satu dari 4 perkara yang ditetapkan Tuhan. Aku hanya menerima. Pastinya aku harus yakin bahwa yang terbaik adalah yang disediakan Tuhan untukku.

Tapi jujur, bayangan Ala memang senantiasa melintas dalam benakku. Aku juga heran kenapa harus selalu teringat bayangnya. Bukankah ini justru menjauhkanku dari Yang di Atas. Bukankah aku harus menangisi perjumpaan karena perjumpaan hanya akan menyisakan perpisahan. Laksana bayi yang lahir. Harus ditangisi karena kelahiran membawa serta penyakit dan pasti juga kematian. Mengapa aku tidak menangisi perjumpaan dengan Ala hingga aku segera melupakannya? Ala, masihkah ada secuil harapan untukku? Hanya Tuhan yang tahu. Tabik!


Pertapaan Sunyi,
08 April 2011

Kak Sams


Download PDF:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullahu khairan katsiran...