Kamis, 30 Juni 2011

Guru Berjasa ala Bocah Desa

Guru Berjasa ala-Bocah Desa 
Oleh: Samsul Zakaria


Aku adalah bocah desa. sekadar huruf ‘a’ saja, tiada pernah kubaca. bicara saja sangat terbata-bata. apalagi menulis, tak pernah kupegang pena. mungkin hanya membaca alam, sembari mengembala di padang sahara. atau bicara lewat peraga dengan sapi-sapiku yang tak mampu juga bersua. paling jauh, aku goreskan kayu mungil nan panjang, membentuk rasi bintang di ufuk sana.

Bapakku sudah lama tidak bekerja. akulah yang menjadi ‘badal’-nya. tak tega rasanya melihat ayah tergeletak lemas, tiada berdaya. kecelakaan itu, adalah bencana bagi kami. sepulang mengajar, dengan sepeda ontelnya, ayah terhampar jauh. sebuah truk kontainer yang sungguh kencangnya keras menghantam. sudahlah, tak kuasa lagi aku gambarkan derita ayah. kalau ayah terluka maka akulah yang ikut menanggung jua.

Kala itu aku masih berumur tak lebih 5 tahun. seharusnya aku masuk TK. belajar riang bersama bu guru yang juga periang. tapi lagi-lagi biaya. biaya sekolah di desaku lumayan tinggi. tak pernah aku tahu bagaimana ceritanya. apalagi diriku masih terlalu dini untuk memikirkannya. yang jelas, untuk makan saja, kami merasa sulit. ibuku sudah tidak berjualan di pasar Senin. ibu hanya menunggu ayah di gubukku yang nyaris rubuh.

Aku ingin belajar. itu pasti, Kawan! tapi bagaimana dengan sapi-sapiku? dia adalah guruku di alam terbuka. mengajari bagaimana menjadi orang penurut. menjadi pribadi yang banyak memberi manfaat dan guna. tak tega jua aku meninggalkannya. kalau sehari saja tak makan pasti guruku, sapiku, mati tak hidup lagi. mungkin tahun depan tak ada nasi di meja karena tak punya uang membeli beras. biasanya, tiap tahun, satu sapi dijual untuk menutupi kebutuhan dan hutang.

Siang, dengan surya yang begitu terang. teman ayahku, seorang guru, kunjung ke gubukku. momen yang paling berharga bagiku. dia menawariku masuk SD. awalnya aku tak terima. aku masih ingin bercengkrama dengan sapi-sapiku. semakin lama semakin akrab saja. tapi guru itu, terus merayu. dia berjanji akan menyewa orang untuk kembalakan sapi-sapiku. akhirnya aku turuti. biar bagaimanapun aku ingin juga sekolah.

Aku belajar dengan teman-teman di SD. aku senang, walau bayangan sapi terus mengiang. aku belajar dengan sungguh-sungguh. walaupun derita ayah tetap membuatku terenyuh. pelajaran selalu aku ulangi di rumah. meski ragaku selalu dikitari letih dan lelah. kalau ada kendala aku masih bisa bertanya ayah. atau pada ibu yang sempat sekolah walau sekadar 3 tahun saja. hanya ayah dan ibu, karena aku anak satu-satunya.

Akhir semester adalah saat yang mendebarkan. aku tahu dari ayah bahwa ada peringkat kelas yang akan diumumkan. oh Tuhan, akulah juara itu. akulah orangnya. bocah desa yang awalnya tak tahu apa-apa. aku hadiahkan prestasi ini untuk ayah, sang mantan guru. juga untuk sapiku yang ada di kandang. untuk semua, yang dengan tulus mengajariku arti hidup dan kehidupan. mereka adalah guru yang paling berjasa. terima kasih!


Catatan dewan juri: Guru Berjasa ala-Bocah Desa
  • (+) Kalimat pembuka yang cukup tegas, lugas dan jelas, menunjukkan sebuah identitas.
  • (+) Terdapat majas persamaan yg mengandung sindiran pada kalimat sapi dan manusia.
  • (+) Diksinya lumayan baik.
  • (-) Kemasan cerita naratif puisi terlalu datar membuat yang membaca kurang tertarik. Padahal opening-nya cukup bagus. Ending puisi juga datar.

Keterangan: "Kawan mohon dukungannya untuk memilih dan mengomentari puisi saya di atas. Alhamdulillah, masuk urutan ke-7 untuk kategori favorit. Semoga kawan-kawan bisa membantu dan men-support saya. Terima kasih untuk dukungannya. Ajak yang lain juga ya. Ini linknya, http://www.facebook.com/samszakaria#!/notes/ady-azzumar/pengumuman-lomba-puisi-kado-untuk-guru-inilah-juaranya/10150301054071514. Dengan terlebih dahulu kenalan dengan penulis hebat ini ya (anggota FLP Palembang dan kolumnis media masa): http://www.facebook.com/profile.php?id=1829580129&sk=wall (Ady Azzumar). Jazakumullah ahsan al-jaza'..."

Senin, 11 April 2011

Cerpen

KAGUM
Oleh Samsul Zakaria





Semilir angin malam terkadang memaksaku untuk mengingat sosok yang "aku kagumi itu". Tapi, apalah daya, aku masih sangat menjaga diri untuk sekadar mengatakan "ini dan atau itu". Ya, cukuplah aku hembuskan rasa itu via desir angin malam sebagai SMS cinta yang boleh jadi sampai boleh juga tidak. Begitulah, kira-kira caraku memaknai sebuah perasaan yang saat ini berkelibat dalam kalbu ini.


Berawal dari sebuah pertemuan singkat. Aku sungguh terkagum sekaligus terpana dibuatnya. Pesona wajahnya. Betapa anggun langkahnya. Begitu santun tutur katanya. Aku dibuatnya tidak nyenyak tidur semalam suntuk. Wajahnya terus mengitari pelupuk mata yang seharusnya beristirahat. Tapi, aku terus membela diri. Malam itu istirahatku diganti dengan mengingatnya.

Bus Trans Jogja di pagi yang cerah. Awal aku bertemu dengannya barang 20 menitan. Aku duduk tepat disampingnya. Sosok wanita berjilbab lumayan panjang, sedang asyik dengan buku religi yang ada di tangannya. Wah, jarang-jarang ada orang baca dalam suasana seperti ini, bisikku dalam hati. Kalau ada seribu wanita sepertinya alangkah majunya bangsa ini.

Aku tak berani memandangnya dengan terang-terangan. Hanya sesekali aku lirikkan mata ke arahnya. Aku tahu gadis seperti dia pasti sangat menjaga diri. Aku tak ingin menodai kesuciannya barang secuilpun. Tapi aku sadar bahwa aku dibuatnya mabuk kepayang dalam satu kali perjumpaan, saat itu. Entah setan apa yang merasuk dalam dadaku. Aku jadi kefikiran yang macam-macam saat itu juga.

Senyum. Begitulah aura wajah yang dia tampakkan. Aku jadi ingat teori membaca yang baik. Kalau ingin mendapatkan materi bacaan dengan baik maka kita harus bersikap ramah dengan buku. Caranya dengan berfikir positif dan mencoba untuk tersenyum ketika membaca. Dengan begitu ilmu yang ada dalam buku itu akan mudah masuk dalam fikiran. Wah, aku jadi semakin yakin bahwa dia memang bukan gadis sembarangan.

Aku memang terbiasa menaiki Trans Jogja untuk menuju kampusku. Sepuluh menit sudah perjalanan berlalu. Akhirnya, aku tak tahan untuk menahan hasrat untuk sekadar bertegur sapa. “Mau turun di mana, Mbak?” Aku mencoba memancing percakapan, sekaligus sekadar basa-basi. “Oh, di UIN, Mas.” Dia menjawab seadanya. Oh, ternyata kami satu arah dan tujuan. Apakah ini pertanda bahwa kami memang sejodoh? Ah, terlalu optimis diriku berharap. Katanya, menghayal tinggi-tinggi bisa mati berdiri, lho! Tidak deh.

Aku tidak langsung meneruskan percakapan. Aku masih berfikir pertanyaan apa yang paling pantas aku utarakan kedua kali. Aku khawatir dia tidak simpatik kalau aku menanyakan hal yang tidak tepat. Sekitar 2 menit berlalu. Aku mencoba menanyainya lagi. “Mbak kuliah di jurusan apa kalau saya boleh tahu?” Aku tetap menjaga pandanganku untuk tidak menatapnya tajam. “Pendidikan Agama Islam, Mas.” Kali ini dia terlihat agak cair. Aku jadi semakin tertarik untuk melanjutkan tanyaku. Mungkin 5 menit lagi bus akan berhenti di halte. Artinya, kesempatanku terbatas.

“Oh ya, emangnya, Mas, jurusan apa?” Dia berganti menanyaiku. Masih dengan senyumannya yang manis. Aku hampir kehabisan susunan kata untuk sekadar menjawabnya. Aku tak mengira dia akan menanyaiku. Tapi aku tak boleh menampakkan rasa gugup sekaligus kagumku. Aku harus kuat, apalagi menghadapi wanita, yang sebagian orang masih menganggapnya lebih rendah dibanding laki-laki. “Jurusan Tafsir Hadits, Mbak,” jawabku lirih.

“Oh ya, kok kita sudah asyik ngobrol tapi belum berkenalan,” ucapnya sembari menutup bukunya. “Iya, nih.” “Perkenalkan nama saya Ala Nurlaila, Mas!” “Hem, nama yang indah. Pasti orang Sunda?” “Kok tahu, Mas?” “Kan nama orang Sunda suka diulang-ulang. La ketemu lagi dengan La!” “Ah, Mas, bisa aja!” “Oh ya, nama saya Faiqul Munir. Panggil aja, Faiq!” Benar-benar mengesankan percakapan kami. Ala kadarnya tapi menyisakan bekas yang tertancap kuat dalam hatiku. Itu karena aku sudah begitu mengagumi wanita itu. Ya, wanita yang bernama Ala Nurlaila.

“UIN Suka-UIN Suka!” Suara kondektur seketika menghentikan percakapanku dengan Ala. Aku harus turun, begitu juga dengannya. Aku dan Ala memang satu kampus, tapi beda jurusan. Aku melangkah ke arah Timur sedangkan dia ke Barat. Pupus sudah harapanku untuk mengenalnya lebih dalam. Aku-pun tidak sempat meminta nomor HP-nya. Rasanya juga tidak pantas untuk kali pertama bertemu langsung meminta nomor. Terlalu naif bagiku. Biarkan Tuhan yang mempertemukan kami kembali kalau memang Dia berkehendak. Aku tak mau mengubah takdir.

Aku mungkin bisa menemui seribu wanita semacam Ala. Tapi tidak mungkin aku temui 2 Ala, yang persis sepertinya, di dunia ini. Aku tidak pungkiri kalau aku sudah jatuh dalam lubang yang kata orang bernama asmara. Aku ingin memiliki Ala walaupun aku tidak lagi dapat menemuinya. Aktivitasku padat. Apalagi aku sibuk di organisasi yang sebentar-bentar rapat. Huft, aku tak punya cukup waktu untuk mencari Ala. Aku juga tak yakin kalau dia belum dimiliki siapa-siapa. Alangkah kecewanya kalau ternyata dia sudah menjadi hak orang lain.

Kalau sudah begini hanya doa yang dapat aku panjatkan. Kalau memang dia disediakan untukku pasti sangat mudah jalan untuk bertemunya lagi. Bertemu untuk lebih mengenal. Mengenal untuk kemudian mempersuntingnya. Tapi kalau memang dia bukan jodohku maka aku tak perlu sedih. Bukankah jodoh adalah salah satu dari 4 perkara yang ditetapkan Tuhan. Aku hanya menerima. Pastinya aku harus yakin bahwa yang terbaik adalah yang disediakan Tuhan untukku.

Tapi jujur, bayangan Ala memang senantiasa melintas dalam benakku. Aku juga heran kenapa harus selalu teringat bayangnya. Bukankah ini justru menjauhkanku dari Yang di Atas. Bukankah aku harus menangisi perjumpaan karena perjumpaan hanya akan menyisakan perpisahan. Laksana bayi yang lahir. Harus ditangisi karena kelahiran membawa serta penyakit dan pasti juga kematian. Mengapa aku tidak menangisi perjumpaan dengan Ala hingga aku segera melupakannya? Ala, masihkah ada secuil harapan untukku? Hanya Tuhan yang tahu. Tabik!


Pertapaan Sunyi,
08 April 2011

Kak Sams


Download PDF:

Selasa, 18 Januari 2011

Berkah Mentoring

Oleh Samsul Zakaria


Embun pagi masih menindih dedaunan pagi itu. Terdengar sayup-sayup kokokan ayam kampung seakan bangunkan manusia yang masih lelap dalam tidurnya. Mentari sebentar lagi tampakkan praupanya pada dunia. Aku masih duduk termenung di teras kosku. Lantunan ayat-ayat suci yang barusan aku baca terngiang dalam kalbu. Ya, surat an-Najm yang aku baca pagi itu. Susunan ayatnya yang begitu indah memberikan spirit positif dalam tubuhku.

Sejak masih di desa aku terbiasa membaca Alquran selepas shalat Shubuh. Kebiasaan itu ditularkan oleh ayahku. Sebenarnya ayahku tidak pernah memerintahkanku untuk mengikuti kebiasaannya. Namun setiap kali ayah membaca Alquran ayah hanya menyuruhku duduk di sampingnya. Lama-kelamaan aku menjadi tersentuh dengan bacaan ayah. Setelah aku lancar membaca Alquran, akhirnya aku biasakan diri membaca Alquran seperti halnya ayah.

Ayah sangat senang melihatku, anak laki tertuanya, mengikuti kebiasaanya. Suatu ketika ayah pernah bilang padaku bahwa ayah bangga memiliki buah hati sepertiku. Aku terharu dengan perkataan ayah. Rasanya, selama hidupku baru kali itu ayah mengungkapkannya padaku. “Nak, ayah bangga kamu mau menjadi penerus bacaan Alquran ayah. Ayah mau rumah kita yang sederhana ini terhiasi dengan bacaan Alquran. Kalau ayah sudah tiada nanti kamulah orang yang paling bertanggung jawab menghiasi rumah ini,” demikian tutur ayahku.

Dalam renunganku pagi itu aku sempat berpikir bagaimana masa depanku nanti. Saat ini aku sedang menempuh studi di Universitas Islam Indonesia (UII), jurusan Ilmu Psikologi. Apakah studi yang aku tempuh mampu memberikan jaminan kebahagian hidupku nantinya. Bagaimana kalau ternyata nantinya aku hanya mampu lulus dan tidak bisa mencari pekerjaan. Padahal apalah artinya kuliah kalau aku tidak bisa membuktikan kalau aku mampu bersaing di dunia kerja. Saat ini kan kesuksesan kuliah seseorang dilihat dari keberhasilan mendapatkan pekerjaan mapan dengan gaji yang menggiurkan.

Aku sadar sebenarnya kedua orang tuaku tidak menuntuk banyak hal dariku. Yang mereka inginkan hanyalah kemauan kerasku untuk belajar. Ya, satu kata ‘belajar’. Seingatku mereka tidak pernah menginginkanku lekas bekerja setelah kuliah nanti. Walaupun hidup seadanya namun kedua orang tuaku tidak pernah meminta belas kasihan orang lain, apalagi kepada anaknya. Terbukti, walaupun kakak perempuanku, Alfiatus Sahira sudah menjadi dokter dan dipersunting oleh penguasaha kaya. Tetapi orang tuaku tidak pernah sepeserpun meminta bantuan dari mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang tuaku lebih bahagia hidup dengan jerih payahnya. Mereka sudah bangga melihat anak-anaknya hidup mapan. Tanpa mengharapkan balasan apapun. Begitu mulia hati orang tuaku.

Tapi tidak dengan diriku. Aku tetap berkeinginan suatu saat nanti bisa menghajikan kedua orang tuaku. Aku ingin melihat dan menyaksikan orang tuaku memenuhi panggilan Ilahi, menunaikan rukun Islam yang ke-5. Aku ingin membalas jerih payah orang tuaku. Kalau ayah dan bunda sudah berjuang menghidupi dan meyekolahkan aku hingga perguruan tinggi maka niatku juga demikian. “Tunggu, ayah bunda, suatu saat Zakaria akan menghajikan panjenengan (baca; kalian, bahasa Jawa halus),” begitu bisikku dalam hati.

Pagi itu hatiku benar-benar gundah. Mampukah aku wujudkan semua itu. Sekarang saja aku sama sekali belum bisa mencari uang. Biaya kuliah sepenuhnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuaku. Kalau begini terus bagaimana aku serius kuliah. Bagaimana aku bisa mendapatkan nilai yang memuaskan. Padahal prestasi dan IPK adalah syarat mutlak kesuksesan hidup ke depan. Ah, bagaikan makan buah simalakama. Kuliah tapi pikiran buyar entah ke mana. Apalagi tidak kuliah, mau jadi apa aku nanti.

Tidak terasa 30 menit sudah aku duduk ditemani secangkir teh hangat pagi itu. Jam sudah menunjukkan pukul 06.15 WIB. Waktunya bersiap diri untuk menuju ke kampus. Hari itu aku punya jadwal kuliah pagi. Segera aku ambil handuk dan peralatan mandiku. Kamar mandi satu-satunya yang ada di kosku menjadi tujuanku. Aku guyurkan air dengan perlahan. Seolah semua kegundahan yang selama ini memenuhi otakku lenyap sudah. Pikiranku menjadi fresh alias segar kembali berkat guyuran air pagi itu.

Karena aku mandi lebih awal, maka lebih awal pula aku sampai ke kampus. Sebelum dosen datang aku sudah menunggu di depan kelas. Begitu bersemangat pagi itu. Hari itu aku mendapatkan kuliah Psikologi Komunikasi yang diampu oleh Dr. Susilo Budiarto. Mata kuliah itu adalah mata kuliah favoritku. Wajar jika setiap hari Kamis aku selalu datang tepat waktu bahkan lebih awal. Aku tidak mau ketinggalan pelajaran beliau. Ilmu komunikasi yang diramu menjadi satu dengan psikilogi memberikan nuansa berbeda bagiku. Pokoknya, I like it lah.

Setelah mengikuti kuliah, aku pergi bersama rekanku, Burhan ke kantin fakultasku. Burhan adalah mahasiswa asal Makasar yang tinggal tidak jauh dari kosku. Aku terbiasa melakukan sesuatu bersamanya. Tidak jarang aku datang ke kosnya untuk sekadar belajar bersama. Bagiku Burhan adalah teman yang asyik dan unik untuk dijadikan teman berdiskusi. Masalah-masalah yang sedang melanda negeri menjadi topik hangat pembicaraan kami. Tak terkecuali pagi itu. Sambil menikmati menu sarapan aku dan Burhan berbincang-bincang terkait keistimewaan Jogja. Kalau sudah begitu manyantap menu yang ala kadarnya menjadi lebih nikmat. Suasana pun menjadi lebih berkesan.

Sebagai mahasiswa yang menimba ilmu di kota pelajar ini aku dan Burhan menyayangkan sikap pemerintah yang menuduh pemerintahan Yogyakarta bersifat monarki. Mereka seolah tidak memperhitungkan nilai historis kota Yogyakarta yang ribuan mahasiswa seantero Indonesia menimba ilmu di sana. Padahal jasa Yogyakarta pada bangsa ini sangat besar. “Sebenarnya kalau pemerintah tetap ngotot Gubernur Jogja harus dipilih, lebih baik Jogja memisahkan diri saja. Kan keren, kita menjadi sekolah di luar negeri,” cetus Burhan. “Wah itu kan akal-akalan kamu aja, Han. Iya kalau kita tetap diizinkan tinggal di Jogja, kalau kita diusir bagaimana?” jawabku menanggapi ucapan Burhan.

“Ah, sudahlah Zak! Jangan terlalu larut sama urusan yang justru membuat kita pusing. Lebih baik kita fokus sama kuliah, lulus cepat, dan cepat dapat kerjaan. Iya nggak?” tanya Burhan. “Iya juga sih, tapi kan sebagai mahasiswa kita harus peduli dan care dengan kondisi bangsa,” protesku mengakhiri perbincangan. Saat itu juga Burhan mengeluarkan selembar surat dari tasnya. Sepertinya ada hal penting yang ingin dia sampaikan padaku. Benar, ternyata Burhan ingin mengabarkan bahwa UII mengadakan agenda mentoring (pendampingan keagamaan) bagi mahasiswa baru angkatan 2010.

“Ini Zak, kemarin aku dapat surat untuk mengikuti mentoring. Kamu sudah terima surat ini belum?” unggap Burhan. Aku merasa heran. Dari kemarin aku tidak mendapatkan surat apapun. “Belum tuh, Han. Emangnya siapa yang membagikan surat itu?” aku balik bertanya. “Oh gitu, ya sudah kamu tanyakan saja sama ketua kelas kita, Irham. Kemarin dia yang membagikan surat ini,” saran Burhan. “Oke deh kawan. Nanti saya tanyakan sama Irham,” jawabku seadanya.

Siang itu juga aku temui Irham di ruang kelas. Ternyata Irham lupa memberikan surat itu untukku. Aku baca isi surat itu. Seperti yang disampaikan Burhan, surat itu adalah surat permintaan untuk mengikuti kegiatan Mentoring Agama Islam (MAI). Kegiatan itu sepenuhnya dibawahi oleh Jafana, Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) kami. Sebenarnya aku tidak tertarik dengan kegiatan itu. Rasanya sudah begitu banyak asupan ilmu agama yang sudah aku dapatkan. “Paling juga materi yang diberikan sudah aku ketahui sebelumnya. Lalu apa manfaatnya bagikut?” batinku sedikit menyombongkan diri.

Sejak di Madrasah Tsanawiyah (MTs) aku sudah terbiasa membaca buku-buku agama. Tidak cukup bagiku hanya mengandalkan buku mata pelajaran di sekolah. Aku sering mengunjungi perpustakaan untuk menambah wawasanku di bidang agama. Apalagi pelajaran yang diajarkan oleh guruku juga masih berbekas rapi dalam pikiranku. Hal itu yang awalnya membuatku ragu untuk mengikuti kegiatan mentoring. Aku sangat risih kalau harus menjalani sesuatu yang tidak aku inginkan. Termasuk mentoring itu.
***
Setelah sampai kosku yang berapa di KM 10, aku rebahkan tubuhku di kasur. Sebelumnya aku sudah menunaikan shalat Dhuhur di Mushalla samping kosku. Aku menjadi teringat dengan surat undangan itu. Bagaimana mungkin aku menghindari mentoring padahal itu kan kegiatan wajib (compulsory program). Bukannya itu kalau dalam teori hukum disebut conditio sine quanon atau sebuah keniscayaan. Mentoring adalah program wajib UII, kalau aku sudah menjadi mahasiswa UII artinya aku harus mengikutinya. “Dilematis sekali hidup ini,” pikirku.

Di saat-saat seperti itu lagi-lagi aku menjadi ingat tujuanku merantau ke Yogyakarta. Aku ingin sukses. Aku ingin bahagiakan orang tua. Kalau aku malas dan enggan mengikuti aturan yang ada bagaimana aku bisa sukses. Ah, ada-ada saja UII ini. Membuat program tidak tepat sasaran. Orang sepertiku harus disamakan dengan mereka yang awam akan agama. Bukannya tidak lebih efektif kalau diadakan tes dulu. Bagi mahasiswa yang dirasa sudah fashih dengan keilmuan Islam tidak perlu lagi mengikuti mentoring. Seperti aku tentunya.

Tidak terasa aku tertidur pulas siang itu. Walaupun cuaca panas menyengat tidak sama sekali mengganggu tidurku. Aku tidur terlelap sampai menjelang Ashar. Dalam tidurku aku berkimpi bertemu dengan ulama’ besar di daerah Mesir sana. Wah, aku jagi ingat cita-citaku ingin melanjutkan studi di al-Azhar, Kairo. Sayangnya impian itu kandas karena tidak disetujui bunda. Kalau tidak salah, ‘ulama itu bernama Syekh ‘Ali ‘Abdul Wahab el-Mishry. Dalam mimpi itu aku mendapatkan pelajaran berharga dan pencerahan darinya.

Begini ceritanya. Aku mendapatkan kesempatan dari Departemen Agama untuk mengadakan kunjungan selama 4 hari di Mesir. Tepatnya di al-Azhar, tempat Syekh ‘Ali mengajar. Di sana aku disambut hangat oleh beberapa Syekh Azhar. Setelah itu aku langsung diajak berbincang dengan oleh Syekh ‘Ali diruangannya. Di awal pembicaraan Syekh ‘Ali berkata bahwa manusia itu adalah makhluk yang lemah. Tidak boleh sombong, apalagi di hadapan Tuhannya. Aku langsung ingat sikapku selama ini yang terkesan menyombongkan diri untuk sekadar mengikuti kegiatan yang diselenggarakan kampusku.

Panjang lebar Syekh ‘Ali menjelaskan masalah agama yang dikemas dalam bentuk nasihat. Terakhir, seingatku dia berkata bahwa manusia yang bijak adalah manusia yang mau mengambil ibrah dari setiap kejadian. “’Alaika bi akhdzi ibratin li kulli hâlin marra amâmaka, ya Zakaria!” begitu nasihatnya dengan bahasa Arab fushha yang artinya, kamu harus pandai mengambil pelajaran dari segala hal yang engkau temui wahai Zakaria. Begitu merasuk dalam pikiranku kata-kata Syekh ‘Ali. Nasihat itu bagaikan mata air di tengah kegersangan padang sahara.

Belum sempat aku bertanya banyak hal tentang masalah yang mengganjal batinku, aku sudah keburu terbangun. Sayang sekali. Dering alarm Hand Phone yang sengaja aku pasang terpaksa mengganggu bunga tidurku siang itu. Kecewa awalnya. Tapi aku justru ingat ucapan Syekh ‘Ali untuk mengambil pelajaran dari setiap kejadian yang aku alami. Oh, mungkin saja Allah membangunkanku supaya aku tidak telat shalat Ashar. Ya, mungkin juga aku bisa memetik hikmah kenapa mimpiku tidak menemui titik akhir. Begitulah beberapa kemungkinan yang berusaha aku pikirkan untuk meyakinkan hatiku.

Tidak lama kemudian aku langsung bersiap-siap menuju Mushalla al-Hikmah untuk menunaikan shalat Ashar. Biarkan mimpi itu aku tafsirkan nanti selepas shalat berjamaah. Harapanku, aku menjadi lebih arif menafsirkan mimpi setelah shalat. Dalam shalat aku justru memikirkan hal-hal yang selaiknya tidak aku pikirkan. Aku teringat dan terus teringat mimpiki. Ada apa sebenarnya. Adakah ini cara Allah yang paling bijak untuk menegurku. Atau sebenarnya mimpi itu sekadar penghias tidur yang tidak berarti apa-apa bagiku.

Selesai shalat aku berdzikir dan bersimpuh di hadapan Allah. “Ya Allah, tunjukanlah hamba jalan yang lurus. Kalau memang selama ini hamba jauh dari jalan-Mu, luruskanlah jalan hamba dengan cara-Mu yang paling bijaksana. Ya Rahmân, ampunilah dosa hamba dan kedua orang tua hamba,” begitu bunyi doaku sore itu. Biar bagaimanapun bagiku Allah adalah tempat kembali atas semua permasalahan yang sedang aku hadapi. Ketika pikiran dan otak tidak lagi mampu memecahkan masalah maka shalat dan dzikir adalah jalan utamanya. Bukankah Allah sudah berfirman bahwa dengan mengingatnya maka hati menjadi tenang (alâ bi dzikrillâhi tathmainnu al-qulûb).

Pikiranku menjadi lebih jernih. Batinku mencoba menguak dan mengambil pelajaran berharga dari mimpiku. Semakin jauh aku merenung semakin aku yakini bahwa mimpi tadi adalah teguran bagiku. Selama ini aku begitu sombong. Untuk mengikuti kegiatan mentoring yang pasti bermanfaat saja aku begitu angkuh. Rasanya aku sudah sok pinter, merasa tidak perlu lagi mendapatkan asupan ilmu agama. Padahal ilmu itu akan hilang kalau kita merasa sombong dan membanggakan diri. Bukankah sombong adalah sifat Allah yang tidak layak disandang manusia, apalagi diriku. Ya Allah, allâhumma a’ûdzubika mina al-kibr…
***

Mimpi itu membawa perubahan besar dalam hidupku. Terima kasih ya Allah. Aku menjadi bersemangat mengikuti mentoring. Aku yakin mentor yang akan membimbingku nanti adalah orang pilihan yang pasti lebih pandai dan arif dariku. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Benar saja, sesuai dengan jadwal yang ada di surat itu, aku masuk kelompak 9. Kelompok 9 akan dibimbing oleh seorang mentor dari FIAI. Mentor kami bernama Husni Hasanuddin, mahasiswa jurusan Syari’ah FIAI semester atas.

Sesuai dugaanku, Mas Husni adalah sosok mahasiswa yang berwawasan luas. Pengetahuannya tentang Islam jauh di atasku. Ketika menjelaskan satu pertanyaan dari kami dia ulas dengan panjang lebar, runtut, dan logis. Tidak lupa mas Husni juga memberikan kitab rujukan yang dapat kami telusuri andaikata kami tidak puas dengan jawabannya. Sungguh sosok yang ideal. Pintar tapi tidak merasa sok pintar. Justru dia telah berhasil mewariskan kepintarannya bagi orang banyak. Termasuk kepadaku dan rekan-rekan satu kelompokku.

Semakin lama bertemu dengan Mas Husni aku menjadi semakin akrab. Makan bareng di kantin adalah aktivitas yang biasa aku lakukan dengannya. Aku sudah terbiasa menceritakan masalah pribadiku kepadanya. Tujuanku hanya satu, semoga Mas Husni bisa membantu memecahkan masalahku. Suatu ketika aku bertanya padanya. “Mas, sebenarnya tujuan Mas belajar di kampus ini itu apa sih?” tanyaku dengan penuh kepolosan. Aku tahu Mas Husni bukanlah seorang yang tergesa-gesa dalam menanggapi pertanyaan. Terkadang dia malah meminta beberapa hari untuk menjawab pertanyaan kami.

Tapi bagiku pertanyaanku tadi tidak membutuhkan banyak waktu untuk menjawabnya. Secara spontan sepatutnya Mas Husni bisa menjawab tanyaku. Karena pertanyaanku adalah soal pribadi yang tidak ada kaitannya dengan kajian agama yang butuh banyak referensi. Akhirnya dengan suaranya yang lembut namun tegas Mas Husni bersedia menjawab. “Begini Zak, belajar itu adalah sesuatu yang paling penting dalam hidup ini. Apalagi bagi pemuda seperti kita. Tujuan kita belajar adalah untuk memperoleh ridha Allah semata. Kalau kita mengarapkan sesuatu selain ridha-Nya maka kita akan sangat kecewa ketika tidak mampu meraihnya. Kalau sudah berniat untuk mencari ridha-Nya maka semuanya menjadi mudah,” tuturnya.

“Wah ternyata selama ini aku salah, Mas. Aku menuntut ilmu bukan semata karena Allah. Aku menuntut ilmu karena tujuan keduniaan yang mungkin saja akan melalaikanku nantinya,” akuku. “Tidak ada kata terlambat, Zak. Kamu masih berkesempatan untuk mengubah niatmu. Yakinlah bahwa kalau tujuan hidupmu, termasuk belajar hanya karena-Nya, Allah akan memberikan kemudahan,” tambah Mas Husni. Mas Husni memang sangat faham dengan kondisiku. Dia tidak langsung menyalahkanku tapi mengingatkanku dengan cara yang tepat dan bijak.
***

Suatu malam aku merasakan kerinduan yang dahsyat dengan kedua orang tuaku di rumah. Apalagi dengan adik perempuanku, Raisa ‘Ilma yang lagi imut-imutnya. Udara begitu dingin seakan menusuk tulang yang dalam. Rasa rindu yang mendalam membuatku terus teringat kampung halamanku. Nasihat dan wibawa ayah mengitari benakku. Masakan bunda yang lezat tiada bandingnya mengusik seleraku. Tangisan Raisa yang menggemaskan mengiang dalam telingga, merasuk sukma. Rasanya aku harus pulang. Ada apa dengan ayah, dengan bunda, dengan Raisa.

Aku matikan televisi yang sejak tadi aku nyalakan. Aku ambil HP ku dan buru-buru aku telpon bunda. Sekali aku pencet nomor bunda langsung nyambung. Bunda sendiri yang kebetulan menerima telponku malam itu. Aku terjegut karena bunda langsung menangis. Aku langsung bertanya pada bunda ada apa sebenarnya. Akhirnya bunda mengabarkan kalau ayah sedah di-opname di rumah sakit. “Maafkan bunda yang sengaja tidak memberitahumu sebelumnya, nak. Bunda khawatir akan menganggu konsentrasi kuliahmu,” kata bunda dengan tersedu-sedu. Aku tidak kuasa menahan air mata. “Tidak bunda. Biar bagaimanapun bunda harus mengabariku. Besok Zakaria akan pulang pokoknya,” jawabku.

Keputusanku bulat. Sebelumnya aku juga sudah meminta izin Mas Husni. Aku harus pulang. Pulang bertemu dengan ayahku yang sedang terbaring di rumah sakit. Ayahku memang sudah sejak lama mengidap penyakit jantung. Dan berdasarkan keterangan bunda, saat ini ayah sedang dalam masa kritis. “Ya Allah, selamatkan ayahku!” pintaku pada Allah. Aku masih ingin bersama ayah. Ayah adalah sosok yang tegar menghadapi masalah dan bijak dalam mengambil keputusan. Izinkan aku memenuhi janjiku untuk menghajikan kedua orangtuaku.
***

Singkat kata, dengan sisa uangku yang ada di rekening aku sampai juga ke rumahku, di Lampung. Aku langsung menuju Rumah Sakit Asy-Syifa tempat ayahku dirawat. Aku lihat bunda dan keluargaku sedang harap cemas duduk di ruang tunggu. Aku peluk bunda. Air mata mengucur bagaikan guyuran hujan. Begitupun bunda tak kuasa menahan air mata mengetahui kedatanganku. Pamanku yang berada disampingku menasihatiku agar tetap bersabar. “Ayahmu pasti sembuh dan baik-baik saja, Zak,” kata paman sembari menupuk-nepuk pundakku.

Tak lama kemudian aku mendapat kabar dari dokter bahwa ayah sudah siuman. Aku boleh menemui ayah. Lagi-lagi aku menangis bersimpuh di samping ayah. Kuliah dan mentoring sudah hilang dari ingatanku. Aku hanya ingin melihat ayah sehat kembali. Dengan suaranya yang lirih ayah masih sempat menasihatiku. “Nak, ingatlah semua pesan ayahmu. Engkaulah penerus perjuangan ayah!” kata ayah terbata-bata. Tak lama kemudian ayah kejang-kejang. Aku langsung memanggil dokter untuk menanganinya.

Aku, bunda, kak Sahira dan suaminya, paman, dan Raisa berada di ruang tunggu. Kami berdoa dan berharap semoga ayah akan baik-baik saja. Lima belas menit kemudian sang dokter keluar dari ruangan tempat ayah dirawat. Dengan wajah suram sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan. Tidak sabar, aku langsung tanya pada dokter. “Bagaimana keadaan ayahku, dok?” tanyaku. Dengan sedikit ragu akhirnya dokter Irwan menjawab. “Maafkan kami, ayahmu terpaksa harus pergi memenuhi panggilan Ilahi. Kami turut berbela sungkawa,” jawabnya.

Mendengar jawaban dokter, hatiku hancur. Semua menjadi padam. Kelam. Tak sanggup aku menatap wajah bunda. Tak kuasa aku saksikan adikku, Raisa yang belum tahu apa-apa. Kami menangis. Sedih. Harus berpisah dengan ayahku yang tak pernah kenal lelah. Seakan perjuanganku selama ini tiada artinya. Impianku untuk menghajikan ayah pupus sudah. Maafkan anakmu ayah karena belum bisa memenuhi janjiku. Aku sadar tidak patut terus menerus meratapi orang yang sudah meninggal. Begitu Islam mengajari umatnya.

Setelah ayah dimakamkan aku sebenarnya sudah tidak bersemangat melanjutkan kuliah. Aku ingin menemani bunda di rumah. Meneruskan usaha ayah sebagai pedagang dan mengurus kebun kopi yang lumayan lebar. Namun kakakku, Sahira terus memotivasiku untuk semangat kuliah. “Kamu harus kuliah, Zakaria. Biarkan kakak yang mengurusi kebutuhan ibu dan dek Raisa. Kakak yakin kamu bisa tabah dan sukses!” begitu kakakku menyemangatiku. Terlebih lagi Mas Husni yang ternyata sudah mendengar kabar kematian ayahku. Dia turut bersedih dan terus membujukku untuk kembali ke Jogja.
***

Bismillahirrahmanirrahim. Aku pejamkan mata, bulatkan tekad. Aku harus tegar menerima ujian ini. Aku harus terus semangat kuliah. Bukannya aku masih semangat dengan mentoring yang aku ikuti dua bulan terakhir. Bukannya aku masih punya Mas Husni yang begitu sabar menanggapi keluhan dan curhatanku. Aku tidak mau menjadi insan yang lekas putus asa. Aku tahu putus asa sangat dilarang agama. Walaupun ayahku sudah tiada toh aku masih punya bunda. Aku bisa berbuat baik, memuliakannya, dan menunaikan janjiku untuk menghajikannya. Aku memang berkeinginan menghajikan ayah, namun karena ayah sudah tiada berarti gugur kewajibanku. Dan jalan satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah selalu mendoakan ayah dan bersedekah semampuku diniatkan pahalanya untuk ayah di alam baka sana.

Aku aktif kembali mengikuti perkuliahan. Kegiatan mentoring tidak pernah aku tinggalkan. Dalam setiap kesempatan Mas Husni selalu menguatkan hatiku. Rasanya Mas Husni sangat layak kalau menggantikan sosok ayahku dalam hidupku. Tuturnya yang sopan, perangainya yang santun, wawasannya yang luas selaras dengan sifat ayahku. Semakin lama aku bersamanya semakin aku rasakan bahwa pertemuanku dengan Mas Husni adalah berkah dan anugerah dari Allah. Pertemuan itu tentu melalui media yang bernama kegiatan mentoring yang dirancang kampusku. Mentoring telah membertemukan 2 sosok yang akan merubah bangsa.

Semangatku menyala-nyala. Ilmu yang aku dapatkan dari mentoring menyatu dalam ragaku. Sekarang, aku sudah sering dimintai pertimbangan oleh teman-temanku. Dengan segala kekuranganku aku berusaha memberikan masukan yang terbaik. Secara perlahan hasil mentoring aku amalkan dalam kehidupan sehari-hariku. Sering juga aku diminta pak Dukuh untuk mengisi kultum ba’da Maghrib di Mushalla dekat kosku. Selain itu aku juga berkesempatan menjadi staf pengajar di TPA Insan Cendikia, Ngaglik. Aku menikmati hidupku.

Setiap minggu tidak lupa aku menelpon bunda. Aku bertanya kabar bunda, bagaimana perkembagan adikku, Raisa. Dari keterangan bunda, saat ini Raisa sudah masuk Taman Kanak-kanak (TK) nol kecil. Dia sudah hafal alphabet, abjad Arab, dan surat al-Fâtihah. Kabar itu tentu sangat menggembirakanku. Aku semakin yakin bahwa Allah memiliki rahasia di balik kejadian yang dialami hambanya. Aku masih teringat dengan mimpiku bertemu Syekh ‘Ali. Orang bijak tentu akan mengambil pelajaran dari setiap kejadian.

Aku masih sangat akrab dengan nasihat ayah dahulu kala saat masih bersama. Ayah hanya ingin aku menjadi penerusnya yang akan menghiasi rumahku dengan Alquran. Aku percaya maksud ayah tidaklah sebatas hiasan dengan bacaan. Lebih dari itu adalah menghidupkan ajaran Alquran dalam rumahku dan rumah tanggaku nantinya. Terima kasih ayah atas segala nasihat dan petuahmu. Aku yakin engkau di sana sudah menikmati buah kebajikanmu di dunia. Untuk bunda, aku sangat kagum padamu. Semoga suatu saat bunda bisa menginjakkan kaki di tanah suci. Berhaji dengan uangku. Dengan jerih payahku, sesuai janjiku.

Begitulah kehidupan yang begitu berwarna. Terkadang kita begitu angkuh untuk sekadar belajar. Di saat yang sama kita begitu sombong untuk mendengarkan nasihat orang. Setidaknya Allah Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan jalan terbaik bagi hamba-Nya. Sebuah jalan untuk menuju keridhaan-Nya sebagaimana nasihat Mas Husni. “Aku tidak akan pernah lupa jasa-jasamu, Mas,” ucapku dalam kalbu. Nasihat-nasihatmu akan menjadi pelucut prestasiku. Mas Husni adalah sosok yang telah mengubah mainstream hidupku. Lewat pertemuan yang difasilitasi kampus dengan kegiatan bernama mentoring. Akhirnya aku berkesimpulan ridha Ilahi adalah puncak tujuan ibadahku di dunia. Ilâhi anta maqshûdy wa ridhâka mathlûby. Wallâhu a’lam.


Samsul Zakaria, lahir di Lampung Barat, 9 Februari 1992. Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Jurusan Hukum Islam (Syarî’ah), angkatan 2009. Saat ini penulis menjadi staf PSDI Jamâ’ah Al-Fârâby (JAF) FIAI UII.

Keterangan:
Alamat : Pondok Pesantren Ashhâbul Kahfi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
HP/E-mail : 0857 6423 9507/sams_airakaza@yahoo.com