Sabtu, 15 Januari 2011

Budaya Menulis, Siswa, dan Peradaban

Oleh: Samsul Zakaria
(Mahasiswa Syari’ah Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)


Menulis adalah sebuah budaya yang tidak pernah terpisahkan dari dunia intelektualitas. Semakin unggul intelektualitas yang disandang seseorang maka selaiknya semakin lihai pula kemampuannya menarikan pena dalam secarik kertas. Saat ini menulis di kertas mungkin terlalu tradisional dan terkesan kuno. Menulis dirasa lebih nyaman dilakukan di atas ‘keyboard’ komputer atau note book (laptop). Bagaimanapun juga menulis adalah suatu keniscayan dalam dunia pendidikan dan bagi peradaban bangsa. Kebiasaan ini terus berkembang seiring dengan perubahan zaman yang ditandai dengan perkembangan teknologi. Kalau masa lalu menulis harus dengan pena dan buku maka saat ini menjadi lebih praktis dengan bantuan komputer.

Dalam kesempatan ini saya sebenarnya hanya ingin mendiskusikan tentang urgensi menulis bagi siswa (calon penentu peradaban) di sekolah. Seorang pustakawan, penulis, dan kritikus asal Amerika Serikat, Lawrence Clark Powell (1906-2001) pernah berujar, “Menulislah agar dipahami, berbicaralah agar didengar, dan membacalah agar menjadi besar.” Dalam statemennya Powell mengedepankan kata menulis daripada berbicara dan membaca. Powell cukup beralasan mengapa mengatakan demikian. Menulis memiliki urgensi tertinggi dibanding sekadar berbicara dan membaca. Menulis memiliki implikasi futuristik-konstruktif bagi perkembangan zaman dan peradaban bangsa. Menulis juga mampu memberikan motivasi dan kontribusi bagi generasi selanjutnya sebagai wacana awal pengembangan pemikiran.

Sedikit kita lirik model pembelajaran dan kurikulum sekolah di negara kita. Menulis belum menempati letak (place) yang strategis. Tugas menulis yang diberikan guru di sekolah tidak lebih hanyalah sebuah kerjaan sampingan bagi siswa. Terkadang tugas yang diberikan hanya sebatas kewajiban membuat resume atau ringkasan materi pelajaran. Tugas seperti ini sama sekali tidak mendidik dan merangsang daya kreativitas siswa. Sangat ironis memang. Mengapa siswa tidak diberi kewajiban untuk mengomentari sebuah buku dengan bahasa dan model penuturan mereka. Dengan seperti itu justru siswa mendapatkan ruang untuk berfikir mendalam dan mampu melahirkan sebuah karya orisinal hasil pemikirannya.

Budaya pemberian tugas resume dan semacamnya terus mengakar dalam dunia pendidikan kita. Hal itu akan menemui kendala ketika siswa benar-benar harus melahirkan sebuah karya hasil pemikirannya. Mereka akan merasa kesulitan dan ‘keteteran’ dengan hal itu. Alasannya cukup beragam. Salah satunya adalah siswa tidak memiliki cukup kompetensi untuk menuliskan ide dalam karangan atau karya ilmiah. Kondisi ini karena siswa tidak terbiasa dengan tugas semacam itu. Alasan lain adalah siswa lebih nyaman mendengarkan ceramah guru di kelas atau membaca buku daripada menuliskan idenya menjadi sebuah karya yang patut diapresiasi pembaca. Realitas yang ada seharusnya menjadikan kita membuka mata dan mencari jalan keluarnya.

Berbeda dengan negara yang memang unggul dalam pendidikan dan peradaban. Selandia Baru (New Zealand) misalnya, negara ini memiliki aturan bagi para siswa di sekolah yang tergolong ampuh melejitkan potensi menulis siswa. Para siswa diharuskan menulis karangan dalam satu semester dengan porsi waktu 48 jam. Waktu itu bukanlah waktu yang lama sebenarnya jika dibandingkan dengan waktu belajar siswa di sekolah selama satu semester. Dengan kewajiban mengarang itu siswa berkesempatan berimajinasi dan menghasilkan karya. Semakin lama mereka menulis maka semakin baik pula hasil tulisan mereka. Dan terbukti Selandia Baru memang menjadi negara yang maju dalam hal keilmiahan. Kalau Selandia Baru berhasil menjadi negara maju dengan kurikulum pendidikannya mengapa Indonesia tidak mengadopsinya. Alasannya simpel agar Indonesia ketularan maju dan menjadi negara yang memiliki peradaban mapan.

Saat seorang menulis maka di saat itu pula dia mampu memvisualisasikan ide-ide cemerlang yang tersimpan dalam dirinya. Namun ketika aktivitas ini tidak menjadi bagian hidupnya yang terjadi adalah terbuangnya ide-ide cemerlang yang dimiliki. Padahal ide itu sangat mahal harganya. Kita tidak tahu kapan ide muncul dan terkadang dengan mudah terlupakan. Cara yang paling dahsyat untuk mengingat dan mengarsipkannya adalah dengan menuliskannya. Sedikit yang dituliskan bukanlah menjadi masalah. Yang terpenting adalah ide itu terwujudkan dalam sebuah tulisan walaupun mungkin belum tertata dengan baik. Namun setidaknya ide itu menjadi langkah awal (starting point) untuk menuliskan karya bermutu.

Kalau siswa sudah dibekali keterampilan menulis maka daya nalar dan kritis siswa juga semakin baik. Semakin baik nalar dan kritisnya maka semakin terbuka kesempatan baginya untuk mengeksplorasi pikiran dan kreativitasnya. Dengan demikian dunia pendidikan sekolah bukanlah suatu pendidikan yang menjenuhkan bagi siswa. Para siswa merasakan sebuah titik terang untuk menelurkan pemikiran mereka dalam sebuah karya. Sehingga menulis bukanlah menjadi sesuatu yang ditakuti melainkan sesuatu yang digemari. Apabila kondisi ini sudah terbangun maka siswa sudah mampu menjadi insan cendikia yang mampu membangun peradaban bangsa ke depan.

Sudah sangat mafhum saya kira bahwa pemikiran seseorang akan tetap terkenang lewat tulisan-tulisannya. Melalui tulisan yang terarsipkan, kerangka pemikiran (mainstream) seseorang mampu dilacak dan dipelajari. Dengan cara seperti itu maka transmisi intelektualitas dalam dunia ilmiah terus berkelanjutan. Berbeda kalau seandainya mereka enggan menuliskan karya maka pemikiran yang cemerlang itu akan hilang ditelan masa. Sepeninggalnya, generasi seterusnya tidak lagi memiliki cukup referensi untuk menelusuri pemikirannya. Padahal secara keilmuan orang tersebut sudah mapan dan patut dijadikan rujukan generasi sesudahnya. Jika demikian adanya bukankah sangat bijak membekali siswa dengan kompetensi menulis. Pada gilirannya merekalah yang akan menguasai dunia dan menjadi pewaris peradaban.

Melihat kenyataan yang ada maka sudah saatnya bagi para guru di sekolah untuk memberikan motivasi bagi para siswa untuk rajin menuliskan ide-idenya. Hal itu dilakukan agar menulis menjadi budaya bangsa, khususnya para siswa. Masa remaja saat menjadi siswa adalah waktu yang tepat untuk menggali potensi yang dimiliki. Kalau bersedia meluangkan waktunya untuk menggali potensinya maka yakinlah bahwa ia mampu menjadi penulis yang baik. Penulis yang baik akan terus berkarya tidak sekadar mengejar popularitas tetapi demi kemajuan bangsanya. Dengan demikian maka akan sangat mudah bagi Indonesia untuk menjadi bangsa yang berperadaban.



Samsul Zakaria | Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta | Nyantri di Pondok Pesantren Mahasiswa Ashabul Kahfi UII | Domisili; Jalan Selokan Mataram, Dabag, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta | HP/E-mail: 0857 6423 9507/sams_airakaza@yahoo.com |

Can be read at; http://www.facebook.com/note.php?created&¬e_id=10150121014654973#!/note.php?note_id=10150121014654973

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullahu khairan katsiran...